Minggu, 10 Januari 2016

Meringankan Biaya Hidup

Pada tanggal 8 September 2015, iseng-iseng saya membuka sosmed. Ada berita menarik dari Tempo.Co Bandung, tentang pernyataan Kang Emil, Wali Kota Bandung. Katanya beliau punya trik untuk mengurangi beban hidup buruh tanpa harus berdebat panjang soal kenaikan upah minimum kota/kabupaten yang sering pula membuat pengusaha pusing.

Trik Kang Emil untuk membantu menyejahterakan buruh itu bukan melulu dengan meningkatkan pendapatan tapi mengurangi pengeluaran. Ada dua inovasi yang bias dilakukan, pertama adalah membuat penghematan ongkos buruh untuk pergi ke pasar. Nantinya, buruh tidak perlu lagi ke pasar hanya untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Dengan hanya menelepon koperasi khusus, para buruh cukup berbelanja dari rumah dengan cara menelepon apa saja barang kebutuhan mereka. Belanjaan akan dikirimkan langsung ke rumah tanpa biaya tambahan

Saya menemukan solusi ini yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di Taiwan. Para TKI hanya cukup menelepon perusahaan tersebut untuk mengirimkan barang pesanannya ke tujuan, termasuk di tanah air. Tapi tentunya ada biaya yang harus dikeluarkan buruh, sekalipun tidak terlalu besar dibandingkan jika harus belanja dan mencari penjual sendiri. Mereka bisa belanja pakai delivery sistem.

Kedua, Ridwan Kamil akan memberdayakan tujuh unit bus milik Pemerintah Kota Bandung yang selama ini sering terparkir untuk dimanfaatkan menjadi bus khusus buruh. Diharapkan, bantuan bus-bus ini bisa mengurangi ongkos ke tempat kerja para buruh. Bus-bus tersebut milik dinas aset Pemkot yang akan dioptimalkan untuk jadi angkutan buruh dari zona permukiman dan zona kerja sehingga membantu mereka mengurangi biaya transportasi, nantinya akan dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Bandung. Kata Kang Emil  "Kita melayani sekolah kenapa tidak melayani segmen masyarakat lain (buruh). Diteliti dulu yang konsentrasi buruhnya paling banyak. Rutenya bukan keliling Bandung,"

Memang persoalan buruh sejatinya bukan sekedar Upah Minimumnya, tapi menyangkut pula daya beli dan pengeluaran yang harus dikeluarkan secara rutin. Buat apa gaji besar tapi tak mampu membeli barang-barang keperluan sehari-hari. Tapi permasalah pengeluaran buruh  ini adakalanya tidak sering menjadi perhatian serius, kecuali dalam seminar dan demo-demo tentang kenaikan BBM yang berpengaruh terhadap kenaikan kebutuhan pokok.

Buruh adalah asset bangsa yang produktif, tanpa buruh roda perekomian belum tentu bisa berjalan normal. Sejarah telah membuktikan, bahwa boikot dan mogok buruh dapat membangrutkan suatu usaha dan perekonomian negara, bahkan kita pun bisa melihat pertumbuhan perekonomian suatu daerah yang cukup significant jika suatu usaha memerlukan tenaga buruh didaerahnya. Karena setiap rupiah yang mereka belanjakan diniscayakan berdampak terhadap multiplayer effect bagi perekonomian. Sekalipun saat ini persaingan akan semakin ketat dengan munculnya mesin-mesin yang menggantikan tenaga buruh, dan buruh-buruh asing yang dianggap memiliki kompetensi lebihj baik didbanding buruh kita, seperti buruh-buruh di pabrik semen yang modalnya berasal dari China.

Jika saja setiap pemerintah daerah menyadari permasalahan ini, dan aktif mencarikan solusi bagi permasalahan buruh, mungkin kerut dikening para buruh, penguasa dan pemerintah akan semakin jarang. Oleh karenanya, sebaiknya pemerintah daerah itu bukan hanya sekedar mengharapkan pajak dari suatu investasi didaerahnya, melainkan pula dituntut untuk lebih inovatif mensejahterakan buruh yang nota bena rakaytanya. Jika saja keseimbangan ini dapat dilakukan, maka kasus seperti Udin dan Marsinah tidak akan terulang lagi. Karena, bukankah kasus ini menunjukan keberpihakan kepada pengusaha semata, tanpa menghiraukan Hak Azasi bagi buruh, sebagai warganegara dan penyumbang devisa kita ?. Mantaplah Kang Emil.

Tidak ada komentar: