Pada tanggal 8 September 2015,
iseng-iseng saya membuka sosmed. Ada berita menarik dari Tempo.Co Bandung,
tentang pernyataan Kang Emil, Wali Kota Bandung. Katanya beliau punya
trik untuk mengurangi beban hidup buruh tanpa harus berdebat panjang soal
kenaikan upah minimum kota/kabupaten yang sering pula membuat pengusaha pusing.
Trik Kang Emil untuk membantu menyejahterakan
buruh itu bukan melulu dengan meningkatkan pendapatan tapi mengurangi
pengeluaran. Ada dua inovasi yang bias dilakukan, pertama adalah membuat
penghematan ongkos buruh untuk pergi ke pasar. Nantinya, buruh tidak perlu lagi
ke pasar hanya untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Dengan hanya menelepon
koperasi khusus, para buruh cukup berbelanja dari rumah dengan cara menelepon
apa saja barang kebutuhan mereka. Belanjaan akan dikirimkan langsung ke rumah
tanpa biaya tambahan
Saya menemukan solusi ini yang
dilakukan oleh pengusaha Indonesia di Taiwan. Para TKI hanya cukup menelepon
perusahaan tersebut untuk mengirimkan barang pesanannya ke tujuan, termasuk di
tanah air. Tapi tentunya ada biaya yang harus dikeluarkan buruh, sekalipun
tidak terlalu besar dibandingkan jika harus belanja dan mencari penjual
sendiri. Mereka bisa belanja pakai delivery sistem.
Kedua, Ridwan Kamil akan
memberdayakan tujuh unit bus milik Pemerintah Kota Bandung yang selama ini
sering terparkir untuk dimanfaatkan menjadi bus khusus buruh. Diharapkan,
bantuan bus-bus ini bisa mengurangi ongkos ke tempat kerja para buruh. Bus-bus tersebut
milik dinas aset Pemkot yang akan dioptimalkan untuk jadi angkutan buruh dari
zona permukiman dan zona kerja sehingga membantu mereka mengurangi biaya
transportasi, nantinya akan dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Bandung. Kata
Kang Emil "Kita melayani sekolah
kenapa tidak melayani segmen masyarakat lain (buruh). Diteliti dulu yang
konsentrasi buruhnya paling banyak. Rutenya bukan keliling Bandung,"
Memang persoalan buruh sejatinya
bukan sekedar Upah Minimumnya, tapi menyangkut pula daya beli dan pengeluaran
yang harus dikeluarkan secara rutin. Buat apa gaji besar tapi tak mampu membeli
barang-barang keperluan sehari-hari. Tapi permasalah pengeluaran buruh ini adakalanya tidak
sering menjadi perhatian serius, kecuali dalam seminar dan demo-demo tentang
kenaikan BBM yang berpengaruh terhadap kenaikan kebutuhan pokok.
Buruh adalah asset bangsa yang
produktif, tanpa buruh roda perekomian belum tentu bisa berjalan normal. Sejarah telah membuktikan, bahwa boikot dan mogok buruh dapat membangrutkan suatu usaha dan perekonomian negara, bahkan
kita pun bisa melihat pertumbuhan perekonomian suatu daerah yang cukup
significant jika suatu usaha memerlukan tenaga buruh didaerahnya. Karena setiap rupiah yang
mereka belanjakan diniscayakan berdampak terhadap multiplayer effect bagi
perekonomian. Sekalipun saat ini persaingan akan semakin ketat dengan munculnya
mesin-mesin yang menggantikan tenaga buruh, dan buruh-buruh asing yang dianggap
memiliki kompetensi lebihj baik didbanding buruh kita, seperti buruh-buruh di
pabrik semen yang modalnya berasal dari China.
Jika saja setiap pemerintah
daerah menyadari permasalahan ini, dan aktif mencarikan solusi bagi permasalahan
buruh, mungkin kerut dikening para buruh, penguasa dan pemerintah akan semakin
jarang. Oleh karenanya, sebaiknya pemerintah daerah itu bukan hanya sekedar
mengharapkan pajak dari suatu investasi didaerahnya, melainkan pula dituntut
untuk lebih inovatif mensejahterakan buruh yang nota bena rakaytanya. Jika saja
keseimbangan ini dapat dilakukan, maka kasus seperti Udin dan Marsinah tidak
akan terulang lagi. Karena, bukankah kasus ini menunjukan keberpihakan kepada
pengusaha semata, tanpa menghiraukan Hak Azasi bagi buruh, sebagai warganegara
dan penyumbang devisa kita ?. Mantaplah Kang Emil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar