Kamis, 10 April 2008

H I N A


Kekufuran, penderitaan dan kemiskinan merupakan negasi
dari manusia untuk ditempatkan ketingkat yang paling
rendah (hina). Negasi ini tidak berarti harus menempatkan
si miskin – si lemah pada tingkat yang perlu dihinakan,
karena negasi ini merupakan bentuk pencerahan agar
manusia mampu mengenyahkan sifat kekufuran, penderitaan
dan kemiskinan dari diri sendiri dan lingkungannya.


Kesakitan dan kesusahan sejatinya bukan sesuatu yang diharapkan manusia, namun banyak orang berani menempuh jalan kesusahan untuk memperoleh kebahagiaan dan kemulyaan hidup. Dalam tradisi kita, cara memperoleh kebahagian melalui penderitaan terekspresi pada cara-cara melakukan tirakat, ngelakoni atau puasa, bahkan masih ada yang melakukan melalui bertapa. Mahatma Gandhi melaksanakan sumpahnya untuk tidak berhubungan selama keadilan belum tercapai. Sedangkan Gajah Mada bersumpah untuk tidak memakan buah Palapa selama ia belum mampu menyatukan Nusantara. Cara ini diyakini dapat mempercepat pencapaian tujuan, karena terdorong untuk lebih bersungguh-sungguh melaksanakan niatnya.

Orang bijak mengungkapkan, : untuk memperoleh kebahagiaan perlu dilakukan dengan cara yang disebut “upaya”. Melakukan upaya dianjurkan bagi manusia untuk bertahan hidup. Karena Tuhan-pun tidak akan merubah nasib manusia jika manusia sendiri tidak berusaha merubahnya. Namun dalam melakukan suatu upaya adakalanya perlu ditebus melalui penderitaan, penistaan, penghinaan dan penghianatan. Berbagai bentuk ketidak nyamanan yang diterima tersebut mampu mematangkan pengalaman dan pemikiran-pemikiran manusia, terutama pada cara-cara mengambil suatu keputusan untuk bertindak.

Penerapan Istilah

Istilah hina biasanya ditujukan kepada diri sendiri maupun orang lain. Orang miskin sering mengaku dirinya orang hina. Karena ketiadaan harta benda mereka menganggap dirinya hina, merekapun membandingkan dengan orang yang berlebih kekayaannya dan mereka sebut orang mulia. Pengemis, peminta-minta juga sering menyebut diri orang hina, karena semua orang tidak ada yang bercita-cita seperti mereka. Istilah hina ditafsirkan kedalam kepapaan harta atau kefakiran materi.

Istilah hina bagi orang yang papa harta tidak selamanya melekat ketika mereka dapat mengangkat derajatnya melalui cara-cara lain, seperti perbutan-perbuatan yang dikatagorikan mulia. Mungkin kita pernah diceritakan tentang kisah nabi Khaidir ; Wali-wali Allah ; dan para penemu ilmu pengetahuan yang papa harta namun luhur pekerti. Mereka tak juga menyandang gelar hina, karena keharuman ilmu dan pekertinya mampu menepiskan istilah hina harta dan menggantinya dengan sebutan orang-orang mulia.

Ketika membincangkan perilaku, katagori hina disebutkan juga bagi pemilik katagori pelanggar moral etik dan pekerti. Disini istilah hina tidak mengambil ukuran harta atau material, namun merujuk pada “rasa” dan perilaku orang yang dikatagorikan hina, seperti pencoleng, perampok, pembunuh, pemperkosa, pelacur atau orang-orang yang merugikan hidup orang lain. Istilah hina dalam kasus inipun adakalanya masih bisa diperdebatkan ketika para filsawan atau sastrawan menyoroti substansi dan tujuan dari perbuatannya.

Misalnya, hinakah seseorang mencuri makanan hanya karena ia perlu memberi makan anak istrinya yang telah dua hari tidak makan ?, bandingkan, muliakah para tokoh agama yang menerima dzakat dari kaum fakir yang hidup disekelilingnya, sementara tokoh agama tersebut memiliki sawah dan ladang lebih luas dari pembayar dzakat tadi ?, atau dalam kasus lain, hina mana para pelacur yang terpaksa melacurkan diri untuk menghidupi keluarganya dibandingkan dengan seorang wanita mapan yang berada didunia tersebut hanya sekedar memuaskan nafsunya ?. Memang secara umum semua perbuatan tersebut masuk pada katagori hina, namun dari sisi lain kitapun bisa lebih permisif memakluminya.

Kebalikan istilah hina adalah “mulia”. Sering diterapkan bagi mereka yang memilki keluhuran budi, seperti para tokoh agama kharismatik ; para pemimpin yang amanah; tokoh-tokoh yang menjadi panutan; atau mereka yang perilakunya dianggap melindungi dan menentramkan orang lain.

Hina dalam contoh diatas sama sekali tidak bersentuhan dengan masalah materi, hanya pada unsur perilaku. Namun tak juga dipungkiri jika kemuliaan sangat bersentuhan dengan masalah harta. Jaman dahulu para tuan tanah sering disapa dengan sebutan “Yang Mulia”. Masa kinipun demikian, banyak istilah-istilah disebutkan bagi mereka yang memiliki harta berlebih, tak peduli asalnya dari mana. Tak heran jika para pengejar kemuliaan hidup banyak mencari jalan melalui upaya pengumpulan harta. Sekalipun demikian, tak adil rasanya jika manusia harus mengesampingkan perlunya akan materi hanya karena mengejar kemuliaan non materi.

Dalam masalah religiualitas, orang sufi selalu mengaku dirinya hamba yang hina disisi Allah, tak memiliki daya dan upaya. Identitas kehinaannya ditunjang oleh perilaku keseharian dan kesederhanaan dalam cara berpakaian. Demikian pula para penghamba Allah yang menemukan dirinya hanya sebagai makhluk ciptaan Allah. Mereka meyakini bahwa : “Tiada sesuatu pun yang bergerak di muka bumi yang bukan karena ridzki yang Allah berikan padanya”.

Dalam cerita lainnya Nabi Muhammad pernah berdo’a, : “Aku berlindung kepada Tuhan dari kemiskinan dan kekufuran”. Dari perkatan tersebut dapat disimpulkan bahwa Nabi mengidentifikasikan antara penderitaan, kemiskinan dan kekufuran ; ketiganya perlu dihindarkan dan diupayakan untuk dihapuskan. Kufur lawan dari istilah iman yang memiliki implikasi luas, sedang penderitaan dan kemiskinan merupakan masalah yang menyangkut moralitas dan budaya. Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya bentuk. Sehingga kekufuran, penderitaan dan kemiskinan betul-betul merupakan negasi dari manusia untuk ditempatkan ketingkat yang paling rendah (hina).

Negasi ini bukan juga berarti harus menempatkan si miskin pada tingkat yang perlu dihinakan, karena negasi ini merupakan bentuk pencerahan agar manusia mampu mengenyahkan sifat kekufuran, penderitaan dan kemiskinan dari diri sendiri dan lingkungannya.

Belajar Dari Rasa Terhina

Menyimak kisah-kisah kehidupan manusia terhormat yang mengagumkan, hampir didahului dengan kisah-kisah yang dihina dina, baik hidup maupun kehidupannya. Soekarno, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Dai Lama dan seabreg tokoh-tokoh terkenal, adalah orang-orang yang mengalami penghinaan lebih dahulu ketimbang menerima kemulyaan. Mandela dituduh sebagai pelaku pembunuhan dan divonis hukuman penjara.

Mahatma Gandhi harus merelakan tubuhnya dianiayai tentara inggris dan melawan kekerasan tanpa kekerasan. Soekarno perlu keluar masuk bui hanya karena pidato dan tulisannya yang dianggap menghina Belanda. Rasa hormat dan kekaguman yang diterima mereka bukan hanya karena penderitaan yang dialami, namun juga keteguhan hati, sekalipun perlu memilih risiko dihina dinakan.

Penderitaan yang diterima tersebut ditukar dengan penegakan prinsip-prinsip yang bertujuan memanusiakan manusia. Prinsip-prisip tersebut sampai saat ini banyak diikuti, dijadikan rujukan penting dalam berhubungan antar manusia, dan cara ini diyakini perbuatan Mulia.

Dari kisah-kisah para nabi pun demikian, sebut saja Nabi Nuh yang dihina (disebut gila) umatnya karena membangun bahtera di padang pasir. Nabi Isa bahkan menebus dengan penyalibannya. Nabi Muhammad disebut pembohong besar padahal sebelumnya memiliki gelar al-Ammin. Nabi Luth dikhianati istrinya. Nabi Yusuf dihukum karena dituduh memperkosa Siti Zulaekha. Nabi Luth dan nabi lainnya, tak satupun yang tak syarat dengan penghinaan, semua harus berurusan dengan manusia dan umatnya yang tak mempercayai pengabarannya. Memang dalam perspektif wahyu ada firman Tuhan yang menegaskan, bahwa Tuhan telah menunjuk untuk setiap nabi seorang musuh. Dengan demikian wajar jika sifat-sifat manusia yang membantu memberi petunjuk diniscayakan mempunyai musuh, baik dalam wujud manusia atau yang ada didalam hati manusia.

Dari hasil penerimaan kehinaan, para nabi berhasil menegakan prinsip-prinsip kebenaran yang universal, mengubah pola pikir manusia hingga memiliki paradigma pencerahan, membebaskan pemikiran umat manusia, untuk tidak takut kepada apapun dan kepada siapapun, kecuali kepada Tuhan.

Para perekayasa perilaku menggunakan contoh-contoh keberhasilan orang-orang yang dihinakan sebagai cara memotivasi dan memberikan keyakinan untuk berhasil. Gede Prama misalnya, ia mengisahkan Pema Chodron, orang sederhana yang sangat menghormati dan mencintai suaminya. Tanpa diduga-duga suaminya jatuh cinta pada wanita lain dan minta untuk menceraikannya. Bagi wanita pencabang pikiran dan wanita pengagung kebebasan, mungkin tidak jadi masalah. Namun bagi Pema yang sangat setia, peristiwa tersebut memukul akal dan pikirannya, karena suami adalah harapan yang dapat melindungi dirinya didunia. Pema tidak lantas meratapi nasib, atau mengobral cerita penderitaan atau menjual diri untuk kesenangan. Baginya hidup harus terus berjalan, perlu dicari jalan lain, hingga ia mampu terus bertahan hidup.

Didalam kekalutan, Pema memilih kebebasannya sebagai manusia melalui cara belajar meditasi dari seorang Guru terkenal, Chogyam Trungpa. Berkat kesungguhannya, Pema menemukan jalan lurus dan mengagumkan. Ia kemudian dikenal sebagai Guru Meditasi terkemuka di Amerika. Setelah terkenal iapun tidak lantas membalas sakit hati dan kehinaannya, namun ia memiliki budi yang tak kalah luhurnya dari prestasi yang diraih. Secara tulus Ia mengungkapkan, bahwa : “mantan suaminya tersebut bukan orang yang mencampakan dirinya, namun ia seorang pembuka pintu kehidupan yang mengagumkan”.

Ungkapannya makin membawa dirinya kearah kemuliaan hidup, seperti disebutkan orang-orang yang mengenalnya dengan baik. Rasa hina memang tergantung dari cara manusia melakukan respon terhadap rangsangan yang ia rasakan sebagai penghinaan. Pema yang telah mampu berdamai dengan dirinya, rasa hina direspon bukan pada tingkat kehinaan yang melahirkan dendam, namun dijadikan cambuk penting untuk memacu dirinya diaras yang tidak menghinakan dan dihinakan. Tabiat seperti Pema hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki pola reaksi positif, terhadap rangsangan apapun yang datang dari luar dan menyerbu bathinya.

Masih banyak tokoh-tokoh kuat sekaligus terhormat yang dibuat besar oleh hinaan dan penderitaan. Semua membukakan pintu kehidupan yang amat berguna ; penderitaan dan cacian ternyata sejenis obat mujarab yang membuat hidup lebih mulia ; memberikan spirit pantang menyerah. Hampir semua manusia tidak menghendaki rasa sakit, cacian, dihinakan, dan penderitaan. Dalam setiap berdo’a, manusia selalu memohon agar dijauhkan dari penderitaan, cacian, sekaligus kesakitan, demikian pula Nabi. Namun ada orang yang menikmati bahkan bersyukur atas kehinaan yang diterimanya, karena ia tidak termasuk orang yang menghinakan orang lain.

Orang yang dihinakan, dinistakan, dianiayai atau dalam perspektif lain termasuk katagori dizalimi sangat diijinkan untuk mendoakan yang menzaliminya. Karena dengan cara melakukan pembalasan (fisik) hanya akan memancing pembalasan lainnya. Dengan berdoa Ia menyerahkan diri kepada Tuhan untuk mengambil hak-haknya yang ia sendiri tidak mampu mengambilnya. Doa adalah senjata ampuh orang-orang beriman, tanpa berdoa manusia diniscayakan sombong, angkuh, dan buruk pekerti. Dengan demikian, setiap doa yang dipanjatkan mereka yang dihinakan dapat mengurangi duka didalam dirinya. Sekalipun Tuhan tidak menyukai ucapan yang buruk, namun akan sangat memaklumi bahkan mengabulkannya jika dilakukan oleh orang yang dihinakan.

Do’a adalah penting, namun jauh lebih penting mengupayakan untuk mengenyahkan rasa hina, dan hanya kitalah pemilik kehinaan yang mampu mengenyahkannya dari perasaan kita. Karena apapun usaha orang lain untuk menghinakan kita tak mungkin dapat berhasil jika kita sendiri tak mengijinkan perasaan kita menerima penghinaan. Mungkin kita perlu melakukan kontemplasi atas do’a yang dipanjatkan Rasullulah, tentang “Aku berlindung kepada Tuhan dari kemiskinan dan kekufuran”. Kemudian melakukan negasi dalam bentuk tindakan atas do’a tersebut. Sehingga kitapun benar-benar mampu menghindarkan diri dari kemiskikan dan kekufuran, agar tidak menjadi manusia hina dan terhina.

Bagi kita yang sering lupa atau tanpa sadar menghinakan perasaan orang lain, namun dalam waktu yang bersamaan kitapun sering merasa selalu dihina dina, ada yang dapat mengingatkan kita untuk berintropeksi dan saling memaafkan, agar dapat menjaga kualitas hubungan antar manusia dengan baik. Ingatlah : jika kita mendoakan buruk untuk orang yang mendzalimi kita, namun ada orang lain yang mendoakan buruk untuk kita, karena ia kita zalimi, maka kedua do’a itu akan dikabulkan. Namun bila kita sabar, Tuhan akan menunda penerimaan kedua do’a kita sampai hari nanti, agar kita bisa saling memaafkan. Karena saling memaafkan adalah jalan menuju kedamaian hidup. Suatu kedamaian yang menentramkan lahir dan bathin kita !!!!!.


Tidak ada komentar: