Minggu, 02 Agustus 2009

Belajar dari Hina

Menyimak kisah-kisah kehidupan manusia terhormat yang mengagumkan, hampir didahului dengan kisah-kisah yang dihina dina, baik hidup maupun kehidupannya. Soekarno, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Dai Lama dan seabreg tokoh-tokoh terkenal, adalah orang-orang yang mengalami penghinaan lebih dahulu ketimbang menerima kemulyaan. Bahkan di Indonesia saat ini, para tokoh lebih banyak memposisikan diri sebagai orang yang dihinakan, ditindas dari pada berposisi sebagai pihak yang kuat. Konon kabar, posisi ini lebih banyak menarik simpati rakyat ketimbang dinilai terlalu kuat dan berkuasa.

Sejarah dunia mencatat, Mandela dituduh sebagai pelaku pembunuhan dan divonis hukuman penjara. Mahatma Gandhi harus merelakan tubuhnya dianiayai tentara inggris dan melawan kekerasan tanpa kekerasan. Soekarno perlu keluar masuk bui hanya karena pidato dan tulisannya yang dianggap menghina Belanda. Rasa hormat dan kekaguman yang diterima mereka bukan hanya karena penderitaan dan dihina dinakan, taoi juga keteguhan hatinya, penderitaan yang diterima ditukar dengan penegakan prinsip-prinsip yang bertujuan memanusiakan manusia. Sampai saat ini banyak diikuti, dijadikan rujukan penting dalam berhubungan antar manusia,.

Dari kisah-kisah para nabi pun demikian, sebut saja Nabi Nuh yang dihina (disebut gila) umatnya karena membangun bahtera di padang pasir. Nabi Isa bahkan menebus dengan penyalibannya. Nabi Muhammad disebut pembohong besar padahal sebelumnya memiliki gelar al-Ammin. Nabi Luth dikhianati istrinya. Nabi Yusuf dihukum karena dituduh memperkosa Siti Zulaekha. Nabi Luth dan nabi lainnya, tak satupun yang tak syarat dengan penghinaan, semua harus berurusan dengan manusia dan umatnya yang tak mempercayai pengabarannya. Memang dalam perspektif wahyu ada firman Tuhan yang menegaskan, bahwa Tuhan telah menunjuk untuk setiap nabi seorang musuh. Dengan demikian wajar jika sifat-sifat manusia yang membantu memberi petunjuk diniscayakan mempunyai musuh, baik dalam wujud manusia atau yang ada didalam hati manusia.

Dari hasil penerimaan kehinaan, para nabi berhasil menegakan prinsip-prinsip kebenaran yang universal, mengubah pola pikir manusia hingga memiliki paradigma pencerahan, membebaskan pemikiran umat manusia, untuk tidak takut kepada apapun dan kepada siapapun, kecuali beriman kepada Tuhan.

Para perekayasa perilaku menggunakan contoh-contoh keberhasilan orang-orang yang dihinakan sebagai cara memotivasi dan memberikan keyakinan untuk berhasil. Gede Prama misalnya mengisahkan Pema Chodron, orang sederhana yang sangat menghormati dan mencintai suaminya. Tanpa diduga suaminya jatuh cinta pada wanita lain dan menceraikannya. Bagi wanita pengagung kebebasan, mungkin tidak jadi masalah, apa pedulinya, karena : “masih banyak laki-laki yang bisa didapatkan”. Namun bagi Pema yang sangat setia, peristiwa tersebut memukul akal dan pikirannya, karena suami adalah harapan yang dapat melindungi dirinya didunia.

Pema tidak lantas meratapi nasib, atau mengobral cerita penderitaan atau menjual diri untuk kesenangan. Baginya hidup harus terus berjalan, perlu dicari jalan lain, hingga ia mampu terus bertahan hidup.

Didalam kekalutan, Pema memilih membebaskan jiwanya melalui cara belajar meditasi dari seorang Guru terkenal, Chogyam Trungpa. Berkat kesungguhannya, Pema menemukan jalan lurus dan mengagumkan. Ia kemudian dikenal sebagai Guru Meditasi terkemuka di Amerika. Setelah terkenal iapun tidak lantas membalas sakit hati dan kehinaannya, namun ia memiliki budi yang tak kalah luhurnya dari prestasi yang diraih. Secara tulus Ia mengungkapkan, bahwa : “mantan suaminya tersebut bukan orang yang mencampakan dirinya, namun ia seorang pembuka pintu kehidupan yang mengagumkan”.

Ungkapannya makin membawa dirinya kearah kemuliaan hidup, seperti disebutkan orang-orang yang mengenalnya dengan baik. Rasa hina memang tergantung dari cara manusia melakukan respon terhadap rangsangan yang ia rasakan sebagai penghinaan. Pema mampu berdamai dengan dirinya, rasa hina direspon baik dan dijadikan cambuk untuk memacu dirinya diaras yang tidak menghinakan dan dihinakan. Tabiat seperti Pema hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki pola reaksi positif terhadap rangsangan apapun yang menyerbu bathinya.

Masih banyak tokoh-tokoh kuat sekaligus terhormat yang dibuat besar oleh hinaan dan penderitaan. Semua membukakan pintu kehidupan yang amat berguna. Penderitaan dan cacian ternyata sejenis obat mujarab yang membuat hidup lebih mulia. Ia pun memberikan spirit pantang menyerah.

Hampir semua manusia tidak menghendaki rasa sakit, cacian, dihinakan, dan penderitaan. Dalam setiap berdo’a, manusia selalu memohon agar dijauhkan dari penderitaan, cacian, sekaligus kesakitan, demikian pula para Nabi. Namun ada orang yang menikmati bahkan bersyukur atas kehinaan yang diterimanya, karena ia tidak termasuk orang yang menghinakan orang lain. (***)

Tidak ada komentar: