Inilah sekelumit pengalaman seorang teman saya yang
mungkin bisa diambil hikmahnya. Sambil minum kopi dihari leibu, ia pun
bercerita. Konon katanya, suatu saat saya mulai bekerja di unit baru. Nampak sekumpulan
pegawai bergerombol disudut ruanga. Ketika saya lewat mereka seolah-olah
mengacuhkan saya, saya pun tak menghiraukannya, namun berupaya mencari tahu,
apakah memang saya tidak diterima diunit ini ? atau memang orang-orang disini sangat
sombong ?
Sebagai orang baru, dan ingin sukses di unit baru,
maka pikiran-pikiran negartif pun harus dihindarkan, setidak-tidaknya dikelola
menjadi suatu kewaspadaan, sekalipun tidak perlu paranoid, dan berburuk sangka.
Yang jelas harus mencari tahu, apakah memang mereka tidak mau menerima saya ?
atau ada sesuatu hal yang tidak saya pahami ?. Untuk mendapatkan jawaban yang
pas, memang tidak semudah membalik tangan, tapi tidak pula sesulit memanjat tugu monas yang menjulang tinggi ke
awan, yang penting harus ada kemauan, konon kabar kemauan lebih penting dari
kemampuan, karena kemauan awal dari suatu kemenangan.
Ada beberapa persepsi yang melintas dibenak saya. Apakah
mereka sulit menerima orang baru ? atau ada rasa cemburu, mengapa harus saya
yang memimpin mereka diunit ini. Padahal banyak orang-orang yang menurut mereka
lebih mampu dibandingkan saya. Tapi saya anggap wajar, karena mereka belum
mengenal saya. Karena tak kenal maka tak sayang.
Seiring perjalanan waktu, mereka pun dengan ramah
memperlakukan saya. Layaknya saudara serumah yang harus harus saling
memperhatkan dan saling menolong. Namun dibenak saya masih mengganjal pikiran
tentang sikap mereka diawal saya diunit ini. Mungkin saya pun bukan tipe orang
yang easy going, gampangan atau tidak perlu menganggap serius, saya harus tetap
mencari tahu, agar dikelak kemudian saya
harus pindah diunit lainnya tidak mengulang pengalaman yang sama.
Pada awalnya saya hanya berpretensi, bahwa memang
istilah ‘tak kenal maka tak sayang’ itu faktor utama penyebabnya. Lebih jauh
saya pun mengetahui, setelah melihat perilaku mereka terhadap orang baru
lainnya. Orang-orang baru itu pun menganggap mereka sangat sombong, kurang
bergaul, bahkan mencapnya sebagai orang-orang yang sulit menerima perubahan. Tapi
bagi saya, yang terlebih dahulu ada di unit saya, tuduhan itu sangat salah,
tidak mendasar, bahkan suudzon. Sehingga diam-diam saya pun menasehati orang
baru tersebut.
Selayaknyalah orang-orang baru itu mengetahui
perilaku lingkungan barunya, sedikit demi sedikit diarahkan kedalam
pikiran-pikiran tentang tujuan bersama. Orang baru pun jangan memaksakan orang
dilingkungan itu harus terlebih dahulu memahaminya, karena suatu hal yang
paling mungkin terjadi adalah conflict akibat berubahnya kebiasaan. Jika ini
terjadi, maka akan dipastikan sulitnya mengorganisir tujuan.
Hal yang tak kalah pentingnya adalah persepsi yang
sawang sinawang. Orang baru menganggap mereka sombong, akan tetapi justru sebaliknya.
Mereka tidak menegur terlebih dahulu karena segan. Mengapa tidak ? karena bisa
saja mereka tidak menegur karena rasa segan. Apalagi orang baru itu menjadi
pemimpin unitnya. Suatu hal yang tidak mustahil juga, jika mereka diam-diam
mencar. Apalagi orang baru itu menjadi pemimpin unitnya. Suatu hal yang tidak
mustahil juga, jika mereka diam-diam mencari tahu dan mempelajari sifat-sifat
orang baru itu. Apakah orang baru itu mudah diajak bergaul ? pemerah ? mudah
tersinggung ? terlalu seriuas ? atau bagaimana ? karena saya yakin, mereka pun
tidak mau gagal dalam berhubungan dengan orang baru itu. Apalagi orang baru itu
atasannya.
Jadi berprasangka baik lah
disetiap tempat baru. Karena energinya pun akan kembali baik. Bukankah berhusnudzon
akan lebih baik dari suudzon ? terutama dalam rangka memperbaiki kwalitas
pergaulan dengan sesama. Mudah-mudahan saja bisa dikatagorikan Hablun Min
Al-annas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar