Kamis, 24 April 2008

JENIS-JENIS FAKIR


Dari tulisan terdahulu (Baca : Fakir dan Kafir) diuraikan mengenai batasa fakir dan kafir,. Fakir dapat menyebabkan kekafiran. Bahkan jika seorang Komunis dianggap kafir dari agama, maka Bung Hatta pernah berkata, : jika negara kita ingin memberantas komunisme maka berantaslah kemiskinan (kefakiran). Pendapat Bung Hatta tersebut sangat tepat jika dikaitkan dengan suatu hadits yang menyatakan, bahwa : kefakiran mendekatkan pada kekufuran. Lantas apa sajakah yang disebut kafir.


Fakir Harta

Masalah upaya adalah sarana pokok mempertahankan hidup, oleh karenanya manusia dibekali akal dan rasa. Adalah manusia pula yang bisa menjadi penyelesai utama atas diri dan lingkungannya. Jika sulit banyak acuan tentang hidup, berupa pengalaman maupun teks wahyu dan sejarah. Dalam sumber wahyu ada contoh solusinya,

Pertama manusia perlu terus melakukan ikhtiyar untuk memenuhi hajat hidupnya, karena : “Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum tersebut tidak berupaya merubahnya”. Dalam konteks kehidupan, mencari nafkah atau ridzki wajib hukumnya. Karena itulah sejatinya manusia. Wahyu memiliki konteks yang menyaratkan pula, bahwa manusia diwajibkan mencari ridzki seolah-olah akan hidup seribu tahuh lagi, namun untuk mengontrol kecintaan kepada dunia yang berlebihan, menyaratkan agar manusia beribadah seolah-olah akan hidup seribu tahun lagi.

Kedua untuk membenahi lingkungan. Ada perintah Tuhan bagi yang kecukupan untuk membayar Zakat kepada orang-orang miskin. Solusi tersebut cukup kuat menjelaskan, bahwa sebenarnya manusia memiliki pengaruh kuat untuk meningkatkan kualitas hidup dan membenahi kualitas lingkungan, jika dibiarkan niscaya akan menganggu kehidupannya. Misalnya, apakah kita yang hidup serba kecukupan dapat tentram hidup disekelilingi orang-orang yang serba kekurangan ?. Atas pertanyaan ini mungkin kita bisa berkontemplasi, kemudian memberikan jawaban.

Sejatinya manusia memiliki kebebasan untuk memilih respon yang tepat terhadap kehidupannya, positif atau negatif. Sehingga persoalan manusia intinya dapat diselesaikan oleh manusia, yakni diri sendiri maupun lingkungan. Sekalipun demikian, keyakinan terhadap kehendak Tuhan juga menempati faktor penting, karena ada hal-hal lain yang lain yang memang ditentukan Tuhan. Namun saya yakin, melakukan upaya adalah cara yang paling dianjurkan agama manapun. Misalnya, jika seluruh manusia membayar zakat sesuai kemampuannya diniscayakan kefakiran dan kekufuran akan jauh berkurang.

Fakir Pendidikan

Selain kefakiran harta, kefakiran pendidikan dapat menjerumuskan manusia kedalam kegelapan pengetahuan. Kefakiran harta dapat menutup segala peta pengetahuan yang seharusnya ia miliki. Kefakiran pendidikan dan pengetahuan menyebabkan manusia tidak memiliki peta tentang keberadaan pengetahuan yang dapat mengantarkan pada peta sosial tentang adanya nilai-nilai yang benar dan salah, atau baik dan buruk.

Sekalipun pengetahuan masih merupakan paradigma teoritis, namun ia mampu memberikan petunjuk tentang apa yang perlu dilakukan - dan mengapa harus melakukan. Pengetahuan akan lebih efektif jika disertai ketrampilan dan kemauan. Ketrampilan akan membawa pengetahuan tentang bagaimana cara melakukan dan menjalankan kebenaran yang diketahuinya. Pengetahuan ibarat arus listrik dan kemauan adalah penghantar keberadaannya – ia adalah motivasi yang dapat menggerakan kebenaran.

Paling tidak ada tiga cara untuk mendapatkan pengetahuan. Salah satu jalan bagi jiwa untuk mendapatkan pengetahuan adalah indra perenungan (fikr). Dengan cara ini jiwa merasakan eksistensi-eksistensi yang dapat dipahami. Lewat jalan itu para nabi mendapatkan wahyu.

Perenungan juga digunakan oleh para penemu ilmu pengetahuan, seperti Sir Issac Newton, Einsten, dan para akhli filsafat seperti Aristoteles dan Plato. Jalan kedua adalah pendengaran (sam). Melalui penggunaan indra ini jiwa manusia menerima makna kata-kata dan kabar tentang benda-benda tak terlihat yang ditunjukan oleh suara-suara. Ketiga jalan penglihatan (Nahr), dari cara melihat jiwa-jiwa menyaksikan benda-benda yang ada.

Covey mendifinisikan pengetahuan, ketrampilan dan kemauan sebagai sesuatu yang memiliki titik kulminasi, dapat mendorong manusia melakukan kebiasaan-kebiasaan yang kondusif bagi kehidupan. Seperti, saya mengetahui jika perbuatan seseorang itu salah. Untuk meminimalisir kesalahannya saya perlu memberitahukan tentang sesuatu yang benar – sayapun lakukan itu. Namun saya tidak tahu cara mendengarkan alasan yang mereka lakukan.

Walaupun saya mendengar tapi saya tidak trampil mendifinisikan alasannya. Saya mungkin tidak tahu cara mendengarkan orang lain secara mendetail. Akan tetapi saya mengetahui bahwa mendengar saja tidak cukup. Kecuali jika saya mau mendengarkan dan mempunyai keinginan untuk mendengarkan. Keinginan atau kemauan untuk mendengar sendiri dapat dilatih dan dibiasakan. Karena cara ini mampu mendobrak kejumudan paradigma usang yang tidak peduli terhadap lingkungan dan diri sendiri.

Fakir Hati

Kefakiran lain yang tak kalah penting adalah kefakiran hati, penyebab kegersangan dari perasaan dan terselimutinya fitrah-fitrah oleh persoalan dunia yang dihadapi manusia. Kefakiran hati membawa dan membelengu manusia untuk melakukan perintah dari suara hatinya. Ia tidak hanya dimiliki oleh mereka yang fakir akan harta, tetapi juga para pemilik pengetahuan yang sekaligus penganut realitas dan pendamba rasionalitas. Mereka tidak menjadi pemilik kefakiran hati jika mempertimbangkan adanya eksistensi “rasa”. Karena tanpa menyertakan eksistensi rasa (hati) maka manusia cenderung menjadi budak obyektifitas yang gersang akan makna, menjadi budak-budak materi, serta tak lagi memiliki ukuran baik dan buruk.

Kegersangan hati membawa pula generasi muda menjadi bertindak brutal ; tak mengenal belas kasihan dan kasih sayang ; bahkan mengukur suatu tingkat keberhasilan hanya pada ukuran materi. Anda bisa melihat ketika terjadi peristiwa tawuran yang dipicu oleh masalah-masalah yang sebenarnya tidak prinsipil.

Mungkin juga kita sekali-kali melihat perilaku yang dipertontonkan para pamong praja ketika melakukan pembersihan terhadap para pedagang kaki lima, padahal hidup berdagang dikaki lima merupakan satu-satunya usaha yang dapat mereka lakukan. Mungkin juga kita bisa sejenak melihat panggung adu jotos antara para anggota Dewan yang terhormat hanya karena kursi jabatan atau jatah yang tak merata. Atau kita melihat para pialang saham yang melakukan bunuh diri karena saham yang ia perjual belikan jautuh harganya. Semua menyuguhkan gambaran kegersangan hati.

Contoh kefakiran hati lainnya bukan hanya dipertontonkan dalam sinetron hidayah ; rahasia illahi ; atau sinetron-sinetron lain yang berbau relijius dan sedikit mistis. Namun kefakiran hati sering pula dipertontonkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti memberikan alasan “malas” bagi orang “papa” ; atau menganggap “bodoh” bagi orang “jujur dan lugu”. Kefakiran hati dipertontonkan pula oleh orang-orang pintar yang mengagungkan obyektifitas, namun gersang didalam relung hatinya. Konon kabar kelunakan hatilah yang dapat membuka qolbu kita, menerima hidayah dan kebenaran.

Ukuran Fakir

Persoalan kefakiran sebenarnya bisa ditarik pada garis yang riil atau absurd, sehingga banyak yang menisbikan, perlu ada ukuran tentang ketidak fakiran atau hidup layak. Jika mengacu pada ukuran kemampuan financial, dapat dicontohkan, seorang yang berpendapatan sepuluh juta perbulan belum tentu dapat mencukupi kehidupan sebagaimana yang dilakukan orang yang berpenghasilan satu juta perbulan.

Ukuran kebutuhan hidup sangat tergantung pada cara pandang dan penggunaannya. Seorang manajer dari suatu perusahaan besar tentunya memiliki keluhan yang sama dengan para sopir atau pelayan yang gajinya jauh dibawah pendapatannya. Namun pertanyaannya : “apakah ada manusia yang tidak pernah merasa hidup layak - miskin - kekurangan, sehingga dapat menghindarkan diri dari keterpaksaan melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak menginginkan ?”.

Atas pertanyaan diatas ada jawaban yang diceritakan Gede Prama. Ia baru menemukan bahwa ternyata ada orang yang tidak pernah merasa miskin. Sambil mengutip pernyataan dari Alexander Simpkins dan Annelen Simpkins dalam buku Simple Taoism, tentang “kesejatian hidup”, Prama menulis, bahwa : seorang manusia yang tidak pernah merasa miskin tidak terkait dengan tingkatan material maupun ritualitasnya, melainkan seberapa besar ia bisa menikmati dan mensyukuri hidup.

Manusia yang mampu menikmati dan mensyukuri keadaan melekat dalam kehidupannya, maka ia tidak pernah merasa kekurangan – tak kan pernah merasa miskin – bagaimana mungkin ia merasa miskin jika pada setiap tingkat penghasilan dan tahap kehidupan manapun ia tanggapi dengan cara mensyukuri – hingga ia tak pernah merasa kekurangan.

Prostitusi dan penyimpangan pekerti pada dasarnya merupakan masalah privat, namun ketika hak tersebut bebenturan dengan hak orang lain atau lingkungan, maka bergeser menjadi masalah sosial, seperti terganggunya keseimbangan lingkungan (ketentraman), atau melanggar teks wahyu.

Prostitusi ada juga yang berpengaruh terhadap mentalitas dan kehidupan orang lain, misalnya tak jarang ada yang terganggu ketentraman hidup berumah tangga. Prostistusi juga dianggap menggoyahkan sendi-sendi hidup keagamaan dan keseimbangan adat, sehingga masyarakat menganggap perlu mengenakan sanksi. Namun jika saja masyarakat setuju untuk mengurangi praktek prostitusi, paling tidak ada nilai-nilai yang perlu terus dibina, yakni saling peduli dengan kehidupan dan lingkungannya, tanpa mengurangi dan membatasi kesejatian nilai-nilai kebebasan manusia !!!!!!!.

Artikel terkait : KAFIR DAN FAKIR


Tidak ada komentar: