Rabu, 25 November 2009

Nonton TV

Sedemikian transfarannya TV kita menyajikan tontonan yang menarik perhatian, entah dalam bentuk kekerasan, pelanggaran susila, atau kondisi-kondisi ketidak normalan yang perlu dikritrisi, semua disajikan tanpa cadar dan tanpa tirai. Lebih seru dari sajian CNN pada masa reformasi dulu tentang tayangan “No Comment”.


Pada episode pemilu setiap malam kita disuguhkan tontotan sumpah serapah para calon wakil rakyat dan para politikus yang berdebat dan adu pendapat. Episode berikutnya kitapun disajikan tontotan cerita Jaksa tentang uraian pelecahan yang dilakukan seorang Tokoh Nasional terhadap istri siri seorang tokoh lainnya.

Dengan alasan kebebasan pers dan alasan masyarakat harus memiliki kesempatan mendapatkan informasi, maka semua ditayangkan dengan terus terang, tak perlu tahu, apakah yang nonton itu anak-anak kita yang masih kecil atau orang dewasa, semua disiarkan tanpa tedeng dan tanpa aling-aling semua transfaran.

Tak pelak pula kita disuguhkan perilaku para demonstran yang ikut meramaikan situasi dengan pihak keamanan didaerah, melalui pertunjukan dengan saling bersitegang, saling dorong dan beradu fisik.

Memang pers harus memiliki kebebasan, karena itulah konsekwensi logis dari liberaslisme sebagai unsur demokrasi. Pers merupakan bagian dari kekuatan politik didunia manapun, bahkan ia mengajarkan kita untuk melek politik. Pers sarana efektif untuk masyarakat mengetahui segala sesuai yang terjadi diluar ruang-ruangnya. Mungkin juga wajar jika sesekali mereka harus mengancam mogok jika ada pembatasan untuk mendapatkan informasi yang menurut mereka harus didapatkan dan diberitakan.

Sayangnya semua urusan moral adalah kewajiban warga, sedang pers hanya menayangkan saja, mungkin juga tak perlu harus merasa ikut bertanggung jawab terhadap dampak tayangan. Memang ada pemasungan budaya parternalistik menjadi individualistik. Jika saja unsur hiburan dan rating yang menjadi tujuan utama maka wajar jika semua itu terjadi.

Kita pun harus berterima kasih. Sekarang tak perlu lagi bersusah payah mendengarkan bisik-bisik tetangga tentang suatu isu. Karena semua di sajikan kemeja-meja ruang kantor, keluarga bahkan kamar tidur. Hanya cukup klik semua akan kita saksikan dengan santai.

Pers juga menjadi garda depan ketika konspirasi dan mafia hukum yang dijalankan para Markus dibuka dan dipublikasikan, serta kebusukan para penegak hukum dikuliti satu persatu. Tanpa pers yang berani mungkin masalah Om Markus dan Mafia peradilan hanya berhenti sebatas bisik-bisik dan kekhawatiran masyarakat. Mungkin pula republik ini akan tetap menjadi negara maling. Mungkin pula kita hanya menunggu terjadi semacam Sodom and Gomorah atau munculnya cerita Nabi Nuh.

Pers saat ini paling konsisten untuk mengawal proses-proses demokrasi. Ia tak perlu lagi disuruh dan diperintah untuk mencari suatu liputin, karena ada simbiosa mutualisma antara pers dengan kepentingan pemberitaan. Mungkin ada baiknya jika para insan Pers juga memiliki tanggung jawab moral yang tinggi terhadap pendidikan dan kondisi masyarakat. Sehingga apa yang ditayangkan dapat selalu berdampak positif bagi perkembangan bangsa ini. Walahuallam.



Tidak ada komentar: