Minggu, 27 April 2008

BEBAS

Kebebasan manusia  Dan Tanggung Jawabnya

Konon kabar manusia sejak lahir telah memiliki kebebasan untuk menentukan dan menjadikan dirinya apa saja. namun ada yang menganggap bahwa kebebasan dimaksud bukan dalam arti seluas-luasnya, karena ada batasan-batasan yang perlu ia taati sehingga seolah-olah menjadi tidak bebas.

Manusia yang memiliki kebebasan untuk menentukan takdir dipahami sebagai pemikiran yang logis dan rational, sedangkan rationalitas dianggap yang paling benar. Pemikiran seperti diatas sudah sedemikian menyeruak dan makin meluas. Banyak  yang melaksanakan faham ini, sekalipun tidak menyadari sejarah dari perkembangan pemikirannya. Dapat dipahami, karena hanya mengandalkan logika maka merekapun mengambil aras rational.

Penggunaan ratio bukan sesuatu yang perlu dihindari, namun jperlu dipahami, ketika manusia menggunakan akal maka perlu juga menghadirkan “rasa”, tanpa rasa maka kehidupan akan kering dan tanpa makna, bahkan keimanan pun hanya sekedar percaya yang tergantung pada apa yang dilihat, dirasakan dan ditafsirkan menurut akal. Padahal manusia memiliki keterbatasan dalam menggunakan akalnya. Sungguhpun demikian, teks wahyu seperti al-Qur’an menekankan adanya keseimbangan terhadap tanggung jawab manusia : karena Tuhan tidak akan mengubah nasib – keadaan mereka kecuali mereka berupaya untuk mengubahnya sendiri.

Kaum rationalis yang menekankan pada kehendak bebas dan adanya tanggung jawab moral manusia untuk tujuan memelihara watak etisnya. Seorang muslim yang meyakini bahwa Tuhan berada diatas pandangan manusia tentang benar dan salah berarti tidak mempercayai keadilan-Nya. Keyakinan manusia terhadap Tuhan dengan melanggar semua prinsip yang masuk akal justru lebih parah dari pada Khalifah (Raja – penguasa) Tiran.

Memang keadilan adalah esensi Tuhan, namun Tuhan tidak  akan menjalimi seseorang, serta tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan akal. Bagi kaum jabariyah, pendapat seperti diatas ditafsirkan mempersamakan Tuhan dengan manusia. Menurutnya, : jika manusia memiliki kekuasaan untuk menentukan nasibnya sendiri maka sama dengan merendahkan Tuhan ; menjadikan Tuhan terlalu rasional sama halnya dengan menganggap Tuhan mirip dengan manusia.

Menurut Ali Bin Abi Thalib


Tentang faham kehendak bebas di negasikan pula oleh Imam Hasan, Putra Ali bin Abi Thalib, menurutnya :”Allah tidak bertanggung jawab atas perbuatan manusia, Allah tidak memaksa manusia untuk berbuat sesuatu ; jika Allah memaksakan kehendak-Nya pada manusia, maka pahala dan dosa tidaklah berlaku”. 

Ali bin Abi Thalib pun penganut faham kehendak bebas, namun ia lebih bijak dan seimbang dalam menyikapi setiap pertanyaan. Ketika ditanya, apakah manusia memiliki kehendak bebas atau tidak ?. Ali lantas meminta orang itu mengangkat sebelah kakinya, kemudian memerintahkan pula untuk mengangkat kedua kakinya. Tentu saja orang itu tidak bisa melakukannya. Kemudian Ali menjelaskan, bahwa : “manusia sebenarnya memiliki kebebasan sampai batas tertentu sekaligus ketergantungan terhadap kekuatan diluar dirinya”. Namun ketiga seorang Arab bertanya tentang qada dan qadar sehubungan dengan pemberontakan yang dilakukan Muawiyyah terhadapnya, iapun menjawab, bahwa : “manusia itu bertanggung jawab atas perbuatannya - nasib itu tidak ada dan taqdir bukanlah ketentuan final. Jika tidak demikian maka konsep pahala dan dosa tidak berlaku, karena Allah telah menentukan manusia maka Allah akan mencegahnya manusia dari perbuatan buruk , padahal  sesunggunnya manusia mempunyai pilihan”.

Kaum rational ada yang menafsirkan firman menurut akalnya, bahkan tak jarang mencoba membawa pada upaya melakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks wahyu yang dianggap tidak rational dan tidak sesuai dengan perkembangan pemikiran. Banyak diantaranya yang menganggap penafsiran teks wahyu dari para pendahulunya bahkan para ideolognya dianggap tidak begitu penting, karena sumber kebenaran dari teks asli dianggap jauh lebih penting ; dapat ditafsirkan universal atau falsafi.

Dalam memberikan justifikasi terhadap kebenaran Illahiyyah misalnya, jika timbul pertanyaan, : “siapakah yang mewujudkan perbutan manusia, daya manusia atau daya Tuhan ?”. Aliran ini menyatakan, bahwa : “daya tersebut sebagai upaya manusia, tergantung bagaimana manusia mengupayakan”. Kemudian jika ada pertanyaan lagi, : “apakah ada daya manusia untuk mewujudkan perbuatannya, atau daya Tuhan yang turut mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatan itu ?”. Menurutnya : ”Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya, karena Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia, penggunaan dan kekuatan daya tergantung pada wujud perbuatan manusianya”, akan tetapi yang dimaksudkan bukan pada “Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat manusia, karena perbuatan tersebut adalah hasil dari kreatifitas perbuatan manusia sendiri, bukan perbuatan Tuhan”.

Pemahaman terhadap eksistensi Tuhan dan manusia bagi kaum rational sangat tegantung pada kecerdasan akalnya. Demikian pula cara menafsirkan kebenaran dari perbuatannya, sangat tergantung pada rationalitasnya. Namun tidak menjadi masalah jika ia tetap meyakini eksistensi Tuhan dan percaya pada kebaikan dan keburukan. Eksistensi tersebut perlu ada mengingat “kebenaran” harus memiliki patokan dan tujuan yang jelas. Sekalipun demikian sungguh tidak tepat jika suatu kebenaran diciptakan melalui rasa takut. Misalnya, apakah manusia menyembah Tuhan hanya karena takut masuk neraka dan menginginkan surga ?. Jika Tuhan tidak menciptakan surga dan neraka, masihkah manusia mau menyembahnya ?.

Para penganut atau pelaksana aliran rational sering terlepas menterjemaahkan kebenaran dari asbabun dikeluarkannya teks wahyu. Sehingga teks wahyu menjadi sangat supel dan dapat ditafsirkan apa saja. Ukuran dosa atau larangan Tuhan tergantung pada kecerdasannya. Padahal kecerdasan manusia masih sangat terbatas dan masih banyak masalah kehidupan yang belum terpecahkan pemikiran manusia.

Menurut Ratna Megawangi, seorang aktivis perempuan, didalam membahas masalah Gender, berpendapat, bahwa : “……. Saya pribadi tidak sependepat dengan seorang feminis yang berkata bahwa siapa pun bisa menafsirkan Al-Qu’ran dan Hadis menurut permikirannya masing-masing, termasuk dirinya sendiri. Saya khawatir ini akan membuat manusia menganggap agama dapat dipakai sebagai alat untuk melegitimasi agendanya, yang dapat diubah-ubah tergantung kepentingannya.”

Ukuran kebenaran kaum rationalis tak pelak pula melihat sampai sejauh mana lingkungan merespon perbuatan tersebut sebagai sesuatu yang baik atau buruk. Nilai-nilai kebaikan saat ini memiliki patokan baku yang dibungkus dalam paradigma HAM. Sayangnya paradigma ini sangat dipengaruhi faham-faham kebenaran barat, sehingga ketika ada suatu faham yang tak sesuai dengan kebenaran tersebut maka dianggap tidak benar.

Khusus terhadap penggunaan akal, ada pengalaman unik tentang pemahaman dosa dari salah seorang rekan saya pengagumkan free for all - sangat rational, menafsirkan teks wahyu hanya pada pikiran-pikiran rational, bahkan ukuran keimanannya bukan dari “rasa” namun hanya dari akal. Seperti biasa saya selalu mengumpulkan pemikiran dalam bentuk tulisan. Ketika itu tulisan saya masih dalam bentuk konsep dan masih perlu ditelaah. Tulisan tersebut menyangkut masalah pemahaman dosa, surga dan neraka. Dalam konsep itu ditulis, bahwa : “neraka dan surga itu adalah mahluk yang diciptakan Tuhan, ia bukan Tuhan. Jadi mengapa harus takut atau merindukan surga (makhluk), karena jauh lebih penting adalah merindukan Tuhan.”

Saya sendiri belum sampai pada pembahasan tentang eksistensi surga dan neraka bagi manusia, namun tulisan tersebut kadung dibaca teman saya tadi dan ditafsirkan jauh lebih bebas dari pemikiran saya sendiri. Baginya, karena surga dan neraka itu tidak penting maka menjadi tidak ada. Cara menafikan eksistensi dari hakekat surga dan neraka menghilangkan sikap keimanannya tentang hari akhir dan perlunya pengendalian hidup, sehingga ia memiliki kebebasan yang mempunyai korelasi langsung dengan umbar nafsu. Sungguh tulisan saya tersebut ditafsirkan menjadi menyesatkan. Padahal tulisan itu bertujuan untuk meluruskan akidah saya tentang konsep “tiada Illah selain Allah”, sebagaimana kalimatun tauhid tentang Laillahaillallah. Saya hanya membawa pada pemikiran, bahwa : “manusia harus memiliki kebebasan yang mutlak dalam kehidupannya. Kebebasan dimaksud sebagai bentuk pencerahan agar tidak terjerumus menduakan Tuhan.

Bagi saya jika pikiran dan perbuatan lebih merindukan surga atau lebih takut pada neraka, atau terhadap masalah diluar Tuhan sama dengan menduakan Tuhan, karena semua ciptaan Tuhan adalah makhluk, bukan Khaliq. Sayapun ketika itu tidak mengkaji pada perlu - tidaknya surga, neraka dan hari akhir, atau mengajak untuk melanggar atau menafikan teks wahyu. Terus terang sayapun sampai saat ini merasa sangat berdosa.

Kaum rational dalam menyikapi bencana alam, beranggapan bahwa bencana alam adalah hasil dari perbuatan manusia yang sama sekali terlepas dari kehendak Tuhan. Pemikiran demikian memang ada sisi positifnya, karena dapat mendorong manusia bersikap mandiri dalam menyikapi persoalan hidup ; iapun dapat terus mengupayakan pencegahan hingga bencana yang dialami tak akan terulang lagi. Namun pertanyaannya, apakah bencana tsunami dan gejala-gejala alam yang timbulnya masih diluar kemampuan akal manusia juga akibat dari ulah manusia ?.


Pada tahun 2006 kita dapat menyaksikan dengan kasat mata ketika angin puting beliung memprakporandakan Colorado - Amerika Serikat. Konon kabar negara tersebut dapat mendeteksi bencana alam dimanapun, namun tokh dibuat tidak berdaya. Mungkin saja ada korelasi dengan kehendak Tuhan, atau ada andil manusia, hanya rangkaian tentang sebab akibat belum dapat ditemukan dengan jelas. Inilah bukti adanya keterbatasan manusia.

Evolusi Berfikir

Rationalitas tak dapat dilepaskan dari akal, karena rationalitas bagian dari akal. Menurut Clark dalam buku Growing Up Gifted, : “rata-rata otak manusia saat ini baru berfungsi 5%, sisanya 95% belum dapat difungsikan optimal. Entah berapa puluh tahun, bahkan berapa abad lagi evolusi pemikiran manusia dapat menggunakan seluruh (100%) otaknya. Jika manusia dapat memungsikan seluruh otaknya diniscayakan akan mampu menguak tabir alam semesta”. Penguakan tabir dimaksud meniscayakan timbulnya sinthesa terhadap masalah Ilahiyah.

Keniscayaan dimaksud merupakan dialektika dari fungsi berfikir otak kiri yang otonom, dan mengupayakan bukti-bukti inabstraction, secara konstans mempengaruhi fungsi berpikir otak kanan yang cenderung defensif. Thesa dan antithesa dapat dirasakan melalui kinerja otak kiri yang memproses analisa-analisa dan alasan-alasan logis, bersandarkan pada materialisme, nyata dan terlihat, bahkan membuktikan melalui penelitian, sedangkan otak kanan melalui “rasa” keimanan terhadap Tuhan akan tetap mempertahankan eksistensi Tuhan. Jadi apakah rationalitas sajakah yang hanya kita percayai ?. Walahuallam.

Tidak ada komentar: