Dari perbedaan mendorong munculnya
perbaikan kehidupan,
kemajuan pola pikir,
kemandirian dan kesadaran
untuk bisa berbagi,
Saling menghargai dan saling mengingatkan.
Ekspresi kegundahan mereka diwujudkan dalam bentuk-bentuk gerakan yang berthema pemberdayaan perempuan - memperjuangkan persamaan hak - atau gerakan feminis. Suatu gerakan menjadi anomali jika tidak memiliki nilai-nilai yang dijadikan acuan. Dalam peristiwa akhir, biasanya mengambil ukuran hak azasi a’la barat dan peristiwa budaya ala timur dianggap melanggar hak azasi.
Memang bagi kita yang kadung hanyut kedalam cara pandang barat menganggap benar ada pelanggaran HAM, bahkan gerakan-gerakan yang berupa tuntutan tersebut sangat efektif untuk mencegah timbulnya pelanggaran-pelanggaran gender, seperti kekerasan dalam rumah tangga. Sayangnya, alasan kekerasan rumah tangga sering digunakan untuk mengajukan gugatan cerai, padahal ada bau perselingkuhan yang dilakukan para penggugat.
Dalam membahas masalah isue dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan, terutama dari munculnya semangat mereaktualisasikan wahyu, tidak semua para penggiat timur setuju dengan indikator yang lebih dahulu di launching para feminis barat. Biasanya mereka memiliki alasan setelah mengkaji makna-makna yang terkandung didalam nilai-nilainya.
Suatu contoh jawaban atas tuduhan yang menganggap islam sebagai agama maskulin, disampaikan Prof. Sachiko Murata, didalam Buku : The Tao Of Islam. Ia menjelaskan, : ”…….., kaum feminis yang mengkritik berbagai aspek keislaman atau masyarakat Islam mendasarkan pada posisi mereka pada pandangan dunia yang radikal asing bagi pandangan Islam. Kritik mereka bercorak moral. Menuntut pembaruan yang sesuai dengan standar Barat modern, …….. Sehingga islam (timur) berhak malah berkewajiban menyerukan otoritas-otoritas intelektualitasnya sendiri untuk bersaksi”.
Pendapat Murata diatas menghentakan kemasygulan timur yang sedang asik meniru moral barat. Karena pada akhir dekade ini barat berhasil memproklamirkan diri sebagai pionir hak azasi maka wajar jika moral barat dijadikan patokan resmi untuk menegakan hak azasi. Semangat barat yang sedang dinikmati tersebut berbenturan dengan aktifis timur yang mencoba menahan laju ekspansi budaya barat, dengan cara mengabarkan pentingnya menegakan dan mempertahan nilai-nilai ketimuran.
Hal serupa ditegaskan Ratna Megawangi, aktivis perempuan Indonesia, menurutnya, : ”para feminis yang didukung oleh beberapa ahli fiqih Indonesia menyimpulkan penafsiran, bahwa : Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam harus ditolak. Ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit mengatakan bahwa istri diciptakan dari diri suaminya juga harus dibantah. Padahal tidak ada satu kata pun dalam nash-nash Al-Qu’ran
yang tidak mempunyai makna, karena semua itu (maksudnya : al-Qur’an) berasal dari Allah Swt. Kita akan menemukan bahwa dengan menafsirkan secara lebih dalam, diluar tataran lahiriah yang relatif, segala sesuatunya pasti terkait dengan penciptaan kosmos, dan pasti ada maknanya. Seluruh kosmos berasal dari Tuhan, maka Tuhan mencintai alam semesta. Langit dan bumi tadinya sebongkah utuh, kemudian bumi dipisahkan dari langit, maka langit mencintai bumi dan curahan hujannya ke bumi. Dari diri Adam dipisahkan Hawa. Begitu pula Hawa akan cenderung kepada Adam, karena Adam adalah tempat dimana ia berasal……. Saya pribadi tidak sependepat dengan seorang feminis yang berkata bahwa siapa pun bisa menafsirkan Al-Qu’ran dan Hadis menurut permikirannya masing-masing, termasuk dirinya sendiri. Saya khawatir ini akan membuat manusia menganggap agama dapat dipakai sebagai alat untuk melegitimasi agendanya, yang dapat diubah-ubah tergantung kepentingannya.”
Perbedaan Struktur Otak
Jika hanya dilihat dari sisi perbedaan, sejatinya laki-laki dan wanita secara fisik, terutama alat reproduksinya sudah tentu berbeda, tak mungkin laki-laki mampu menyusui atau melahirkan. Karena itulah fitrah dualitas yang diciptakan Tuhan. Tanpa ada perbedaan diniscayakan manusia tak kan mampu melakukan reproduksi dan memiliki keturunan, kecuali jika Tuhan menakdirkan manusia sebagai makhluk hermaprodate. Sedangkan hak-hak dasar sejak lahir pada intinya sama. Tuhan hanya membedakan dari sisi ketaqwaannya, tak perlu ada keraguan untuk melanggengkan perdebatan, hingga tiba waktunya nanti menghadap Sang Khaliq. Jika saja ada perbedaan, mungkin yang paling perlu dibongkar adalah konsep budaya dan alasan apa yang melatar belakanginya.
Pada realitas kompleksitas spasial, kaum laki-laki dapat dikenali dari sifatnya, yakni sangat suka mengutak atik benda-benda yang rumit, misalnya mengotak-atik kendaraan atau benda-benda secara mendetail ketimbang perempuan.
Kedua, Daerah korteks otak laki-laki lebih banyak difungsikan untuk melakukan fungsi-fungsi spasial. Hal ini penyebab adanya kecenderungan untuk memberi porsi sedikit pada daerah korteks dalam memproduksi dan menggunakan kata-kata.
Laki-laki cenderung untuk menggunakan tindakan dari pada kata-kata. Selain itu, kumpulan saraf yang menghubungkan otak kiri dan otak kanan atau (corpus collosum) pada otak laki-laki lebih kecil seperempat ketimbang otak perempuan. Akibatnya, jika otak laki-laki hanya menggunakan belahan otak kanan, maka perempuan bisa sekaligus memaksimalkan fungsi otak kiri dan kanannya. Kondisi diatas menyebabkan pula perempuan lebih banyak bicara dan menggunakan kata-kata.
Dalam sebuah penelitian disebutkan, perempuan menggunakan sekitar 20.000 kata perhari, sedangkan laki-laki hanya 7.000 kata. Konon kabar kalimat sedikit bicara banyak kerja lahir dari para laki-laki, bahkan jika ada laki-laki yang dianggap terlalu banyak bicara maka sering disebut “mulut perempuan”, sedangkan perempuan pada umumnya tidak peduli, apakah banyak bicara atau banyak kerja.
Untuk menyeimbangkan penggunaan kedua belahan otak, para perekayasa perilaku menyarankan terapi, seperti anjuran untuk lebih banyak senyum ketimbang cemberut. Dengan tersenyum otak kiri dirangsang untuk menganalisa kegembiraan dan otak kanan difungsikan untuk menikmatinya. Dari perpaduan keduanya lahirlah senyuman.
Ketiga, perbedaan bahan kimia. Otak perempuan lebih banyak mengandung serotonin yang membuatnya dapat bersikap tenang, dapat ditenggarai dari perilakunya ketika berhadapan dengan ancaman yang bersifat fisik. Perempuan akan jauh lebih tenang ketimbang laki-laki. Sikap demikian adakalanya ditafsirkan sebagai bentuk ketakutan, padahal ketenangan tidak selalu memiliki korelasi positif dengan rasa takut. Disisi lain, karena kurangnya jumlah serotinin dalam kandungan otaknya maka laki-laki akan cepat naik pitam, seakan-akan tak ada lagi cara selain harus marah.
Perempuan lebih memungkinkan menangani lebih dari satu persoalan sekaligus, ketimbang laki-laki yang cenderung fokus hanya pada satu persoalan. Kita bisa menyaksikan seorang ibu yang sibuk menyusui anaknya sambil memasak makanan.
Tak cukup sampai disitu, ia pun masih bisa memberikan perintah-perintah kepada pembantunya, atau teriak menasehati anak-anaknya. Lain dengan laki-laki, sekalipun mampu mengerjakan hal-hal yang rumit namun sulit untuk disambi mengerjakan yang lain, atau mengasuh anak. Laki-laki memiliki kecenderungan biologis, yakni bertindak lebih dahulu ketimbang bicara. Otak perempuan juga memiliki oksitosin, yakni semacam zat yang dapat mengikat manusia dengan manusia lain jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.
Tentunya kondisi perbedaan otak diatas membuahkan perilaku dan keinginan-keinginan yang berbeda, namun suatu perbedaan perlu diposisikan sebagai dualitas fitrah yang suka atau tidak suka harus diterima manusia. Bagi sebagian orang perbedaan tersebut tidak lantas harus diterima secara sadar, karena entah apa yang mendorong, mungkin dorongan naluri yang selalu ingin terpuasi, masalah perbedaan adakalanya meruncing menjadi suatu perdebatan dan saling berebut mendominasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar