Senin, 28 Mei 2012

Adakah Serikat Profesional ?

Ada beberapa istilah yang kerap digunakan untuk menyebutkan identitas pegawai, seperti pekerja, buruh atau karyawan. Istilah buruh di Jaman Orba memiliki dua konotasi. Pertama, dianggap bernuansa politis dan paling tidak disarankan oleh pemerintah dan harus dihindari, sehingga jarang digunakan oleh wadah organisasi pegawai, terutama dilingkungan instansi pemerintahan, BUMN dan BUMD. Kedua, istilah buruh biasanya diterapkan untuk para pekerja kerah biru, terutama para karyawan pabrikan. Hal ini juga sebagai keberhasilan kampanye orba untuk melumuhkan gerakan buruh/pekerja, melalui cara mengeliminasi masalah politik dari aktifitas sosial ekonomi. Masalah ini turut mempengaruhi penentuan nama organisasi ‘buruh’ dengan nama lain, padahal substansinya sama.

Organisasi pekerja merasa nyaman jika menggunakan istilah organisasi pegawai, pekerja atau karyawan. Istilah-istilah tersebut diterapkan untuk istilah Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI), wadah pegawai dilingkungan instansi pemerintahan, BUMN dan BUMD; istilah pekerja digunakan para pegawai di perusahaan swasta, seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), pengganti Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI/FBSI) ; bahkan ada yang menggunakan istilah Karyawan, seperti Persatuan Karyawan Perkebunan (PERKAPEN). Tidak cukup sampai disitu, perbedaan pun terjadi pula didalam penundukkan hukumnya. Para pegawai pemerintahan, BUMN dan BUMD tunduk pada Peraturan KORPRI, bahkan ada perusahaan swasta (Gobel) menundukkan diri pada aturan ini. Peraturan KORPRI memiliki stelsel pasif dan loyalitas tunggal terhadap pemerintah dan organisasi partai pemerintah, siapapun yang menjadi pegawai negeri secara otomatis menjadi anggota KORPRI.

Organisasi pekerja di perusahaan-perusahaan swasta tunduk pada Peraturan (Hukum) Perburuhan. Spirit yang sama diterapkan kepada organisasi ini, namun tidak seketat KORPRI. Organisasi Pekerja Swasta digabungkan dalam suatu Federasi, yakni FBSI. Pada tahun 1985 berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), bersifat monolitik atau unitaris. Selanjutnya pada tahun 1994 berubah lagi menjadi Federasi SPSI. Upaya ini dilakukan pemerintah untuk mempermudah kontrol terhadap organisasi pekerja. Bertujuan untuk menjaga stabilitas politik Indonesia.

Pasca reformasi di Indonesia, pengertian buruh, pekerja, karyawan atau pegawai memiliki konotasi dan definisi yang sama, yakni seseorang yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Penyamaan definisi mempengaruhi penamaan organisasi masing-masing. Serikat buruh, serikat pekerja, serikat karyawan atau organisasi wadah pegawai di luar kedinasan lainnya memiliki definisi dan kesamaan fungsi, yaitu : memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Pendifinisan tersebut ditegaskan didalam UU No.21/2000 tentang Serikat Buruh (SB)/Serikat Pekerja (SP) dan UU lainnya yang terkait dengan hubungan Industrial, seperti UU No. 13/2003 dan UU No. 2/2004. UU dimaksud merupakan hasil ratifikasi dari Konvensi ILO.

Tantangan SP saat ini :

Didalam penjelasan UU No. 21/2000 ditegaskan, bahwa : Pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha yang sangat penting dalam proses produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya, menjamin kelangsungan perusahaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka SP/SB merupakan sarana untuk memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh dan menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Pekerja/buruh dan SP/SB harus memiliki rasa tanggung jawab atas kelangsungan perusahaan dan sebaliknya pengusaha harus memperlakukan pekerja/buruh sebagai mitra sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Pertanyaannya, apakah terganggunya stabilitas atau proses produksi disuatu perusahaan hanya satu-satunya disebabkan oleh perilaku Pekerja/buruh dan SP/SB ?.

Kegamangan para pekerja bisa saja dipicu oleh kebijakan perusahaan. Seperti diperusahaan jasa mungkin saja terjadi ketika hak berserikat pekerja dikooptasi melalui pendikotomian jabatan yang dilakukan oleh pemimpin perusahaan. Misalnya, jika anda masih tenaga asisten, clerk, pegawai dasar maka dikonotasikan sebagai pekerja, buruh, labour, sedangkan jika para pekerja yang sudah memangku jabatan diatas assisten maka disebut manajemen. Hal ini tidak berhenti sekedar pengistilahan atau pendikotomian, namun ditafsirkan pula dalam cara-cara pekerja untuk menentukan hak kebebasan berserikatnya.

Didalam kekacauan paradigma ini, tenaga asisten, clerk dan pegawai dasar dipersilahkan untuk berserikat dalam organisasi serikat pekerja atau serikat buruh. Namun bagi yang dikatagorikan kaum profesional, maka hak untuk menjadi anggota serikat pekerja harus diakhiri, dengan alasan jabatan tersebut sudah masuk kedalam katagori manajeman, dan seharusya tidak untuk kedalam konvensi ILO. Namun, apakah sopir dan pekerja lainnya dianggap bukan profesional ?, atau hanya sekedar liability diperusahaan tersebut ?. atau bolehkah kaum profesional tersebut mendirikan serikat kaum profesional ?.

Jika saja para kaum profesional tersebut tetap memilih menjadi anggota serikat pekerja, maka mereka tidak akan diberikan insetif yang seharusnya diterima karena jabatannya itu. Kasus ini perlu ditenggarai secara seksama dan diteliti, terutama yang menyangkut pertanyaan: “apakah pelaksanaan ide ini akan menggangu hak dan kebebasan berserikat bagi warga negara ?”. Adakah ketentuan undang-undang yang dilanggar ?. Bisa saja orang berpendapat, bahwa upaya ini sangat jelas melanggar HAM, terutama tentang kebebasan berserikat, sebagai hak dasar manusia yang sangat dilindungi disetiap negara demokrasi. Demikian pula dalam ‘politicall action’-nya, hal ini menunjukan adanya pelanggaran undang-undang, terutama dapat dikatagorikan merampas kebebasan berserikat dan menghalang-halangi kegiatan serikat pekerja, yang berakibat dapat dipidana. Jika saja inisiator mendalilkan hal ini adalah pilihan dari para pegawainya, maka perlu jika diteliti, apakah ada iming-iming atau ancaman sehingga para pegawai tidak memilih organisasi serikat pekerja ?.

Pendikotomian maupun perekayasaan aturan ketenagakerjaan mungkin akibat ketidak tahuan pimpinan perusahaan terhadap esensi penting dari hubungan industrial yang sehat, dinamis dan berkeadilan. Pola hubungan ini dapat memenuhi kehendak dari para pihak, yakni tumbuhnya produktifitas dan terpenuhinya kesejahteraan. Dengan adanya pendikotomian istilah dan hak tentunya akan sangat mengganggu tujuan dari sistim hubungan industrial itu sendiri, yang telah dibangun dan menjadi kesepatakan warga bangsa. Oleh karenanya, ada baiknya jika pimpinan perusahaan tidak hanya menguasai bisnis atau bagaimana cara menghitung pajak, melainkan juga mengetahui, faham dan mentaati pola hubungan industrial ini, yang telah menjadi kesepakatan bangsa yang telah diundangkan.

Serikat Profesional atau serikat aya-aya wae ..... heheheheh !!!!!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ini termasuk Diskriminasi dan harus dilaporkan ..... !!!!