Kamis, 24 April 2008

FITRAH DAN SEBAB AKIBAT


Ketika berpikir tentang “sebab”, ada tiga kondisi yang tidak lepas dari fitrah manusia, yakni sebagai makhluk pribadi (individu); makhluk sosial; dan makhluk spiritual. Ketiga kondisi tersebut merupakan serangkaian dari hakekat kehidupan, yakni manusia selaku makhluk pribadi (individu) perlu memiliki hubungan baik dengan sesamanya dan dengan Tuhan yang menciptakannya. Dalam keyakinan Islam dikenal dengan konsep“hablun min al-annas dan habblun min al-allah”.



Konsep pertama, manusia selaku makhluk pribadi (individu) memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja, ia mampu menolak atau menerima suatu perlakuan yang disebabkan orang lain. Iapun bisa menjadi penyebab dari peristiwanya sendiri. Orang bisa mengupayakan “sebab” apapun untuk diri kita namun jika kita tak mau menerima kondisi itu maka menjadi tak ada artinya.


Kebebasan manusia dirasakan ketika memberikan respon dan melakukan pengendalian atas desakan rangsangan dari luar maupun dari dalam dirinya. Pengendalian berawal dari cara memiliki kebebasan berpikir, untuk berpikir apa saja. Pikiran-pikiran demikian adalah pikiran yang bebas – merdeka. Orang bisa mengusahakan “sebab” menjadi “akibat” kesakitan atas diri seorang manusia, namun jika manusia tersebut mampu membebaskan pikiran tentang kesakitannya maka menjadi tak tersakiti. Upaya melepaskan diri dari dari upaya tersebut adalah suatu “sebab”, yang berakibat tidak terlaksananya kesakitan terhadap diri kita.


Bagi umat agama samawi dapat mengambil hikmah dari cerita Nabi Ibrahim (Abraham), sekalipun dibakar api namun ia tak bergeming, bahkan dapat keluar dari kobaran api dengan selamat. Contoh lainnya diungkapkan Frankl pada bab Kepribadian dan Pema Chodron pada bab Hina. Pada tahap pemahaman dan praktek kebebasan yang dilakukannya mampu menemukan “puncak kebebasan yang tertinggi”.


Menurut Eleanor Rosevelet, : “tak seorangpun dapat menyakiti anda tanpa persetujuan anda “. Anda adalah tuan atas diri dan pikiran anda. Demikian pula menurut Gandhi : ”mereka tak dapat merengut harga diri kita jika kita tidak memberikannya kepada mereka”, artinya : “saya menjadi saya pada hari ini karena pilihan yang saya buat.” Saya menjadi saya “sebab” saya yang menginginkannya. Contoh lainnya dapat dikemukakan, misalnya seseorang memiliki keinginan belajar yang keras, keinginan tersebut menciptakan keselarasan dengan tujuan, yakni memiliki pengetahuan untuk diaplikasikan dimasa datang. Ketika ia berpikir untuk belajar dan menjadi pandai adalah suatu “sebab” yang ia ciptakan, sedangkan belajar adalah “akibat” ; dalam proses selanjutnya belajar adalah “sebab”, sedangkan pandai adalah “akibat” dari belajar.


Kausalitas diatas selaras sebagai keniscayaan, yang dibuat dan direncanakan oleh manusia sendiri. Sedangkan eksistensi Tuhan bergantung pada keselarasan wujud perbuatannya. Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya, karena Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia. Sungguhpun demikian, ada tuntutan yang bisa kita simak dari pendapat Imam Ali, menurutnya : “manusia sebenarnya memiliki kebebasan sampai batas tertentu sekaligus ketergantungan terhadap kekuatan diluar dirinya”.


Kedua, manusia sebagai makhluk sosial – a man zon politicon, terdorong untuk hidup bermasyarakat ; menyebabkan harus melakukan kerjasama dengan manusia lain. Untuk menjaga hubungan antar sesama perlu ada ukuran agar tidak terjadi perbenturan hak, sehingga manusia memiliki kesepakatan tentang mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Konsekwensi dari hubungan ini mempengaruhi perilaku kehidupan manusia selaku individu.


Kebebasan mutlak manusia hanya pada pemikiran, karena ketika diaplikasikan dalam wujud perbuatan diniscayakan ada etika-etika lingkungan yang harus ditaati. Etika tersebut merupakan “sebab”, sedangkan ketaatan seorang manusia terhadap lingkungan adalah “akibat”. Sekalipun pada tahap ini masih ada eksistensi lainnya, yakni sanksi dan kesadaran. Seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena takut terkena sanksi. Demikian pula faktor kesadaran, dapat disandarkan pada adanya sanksi atau secara fitrahnya ia sadar akan perlunya mentaati etika.


Dalam keyakinan islam, hubungan antar sesama manusia menjadikan faktor yang terpenting pada cara-cara beragama, bahkan “Tuhan tak akan menerima hablun min al allah-nya jika hablun min al-annas (hubungan dengan sesamanya) tidak baik”. Keyakinan yang sama juga dianut kaum sosialis, mereka menganggap bahwa hubungan dan kontrak sosial dengan masyarakat merupakan faktor yang perlu diutamakan, namun memang keyakinan kaum sosialis ini sangat rentan di selewengkan orang-orang yang berkuasa untuk mengontrol warganya.


Ketiga, manusia sebagai makhluk spiritual, ia meyakini eksistensi Tuhan sebagai Mahapencipta alam semesta dan Mahapemelihara. Untuk memelihara ciptaannya, Tuhan dapat berbuat apa saja. Bagi Tuhan, tidak ada yang susah selama Ia menghendaki. Sama halnya ketika Tuhan berkehendak menciptakan alam ini, Tuhan lah penyebabnya, sekalipun demikian, Tuhan adalah prima causa, tidak ada yang menyebabkan dan mengakibatkan keberadaannya.


Demikian pula ketika Tuhan menciptakan dualitas hidup, seperti siang dan malam ; langit dan bumi ; keteraturan dan tidak teratur. Masalah ketidak teraturan membawa pemahaman manusia pada suatu konsep tentang : “hidup akan mencari jalannya sendiri”. Misalnya kita dapat melihat seekor anak ayam yang baru menetas, ia tidak diajarkan induknya untuk mencari makan, melainkan melalui dorongan nalurinya ia mematuk apapun yang ada dihadapannya dan dijadikan makanan.


Contoh lainnya adalah seekor anak itik, ia tidak pernah belajar dari siapapun untuk berenang, namun ketika baru menetaspun ia dapat langsung berenang, karena kedua binatang tersebut memilki daya dalam bentuk naluri hewani. Semua hal diatas adalah akibat dari suatu sebab, namun siapakah penyebabnya ?. Jawaban atas pertanyaan tersebut diniscayakan akan berhenti pada suatu titik, yakni mahapenyebab dan mahapencipta.


Dari ketiga uraian diatas ternyata masalah kausalitas tak dapat dipisahkan dari perikehidupan manusia, kapanpun dan dimanapun kausalitas akan tetap menghampiri manusia. Masalahnya adalah : mampukah manusia menciptakan “sebab” yang dapat melahirkan “akibat” dalam bentuk kebahagiaan hidup ????.



Artikel terkait : SEBAB AKIBAT


Tidak ada komentar: