Selasa, 28 Juli 2009

Sekolah Gratis ???


Anda masih ingat tentang iklan sekolah gratis yang dibintangi Cut Mini .... “Bapaknya jadi sopir anaknya bisa jadi pilot pesawat terbang” ...... Dan serentak dipertontonkan kegembiraan para pengiklan ..... “Gratis”. Mungkin iklan itu hanya sekedar harapan yang masih jauh di awang-awang, konon kabar istilah “Gratis” sekarang memiliki pengertian yang berbeda. Yang jelas “gratis” itu tidak identik dengan tidak membayar.

Saya tidak memiliki pilihan lain selain harus menyekolahkan anak saya. Karena di negeri ini ijasah formal masih menjadi prasyarat penting bagi bekal anak-anak kita mencari penghidupannya dimasa depan. Dan terpaksa, idealisme saya harus berhenti di meja ibu guru, di meja pahlawan tanpa tanda jasa. Bagi saya, inilah bentuk kekalahan orang tua murid dari para mafia pendidikan di Indonesia.

Alhamdulillah anak saya diterima di SMP Negeri di Jakarta. Harapan saya, selain mutu pendidikannya terjamin, juga dapat meringankan beban biaya uang sekolah jika dibandingkan dengan sekolah swasta.

Dua hari yang lalu saya dikabarkan anak saya, katanya dia diterima dikelas yang berstandar Internasional di sekolah itu. Menurut pihak sekolah, anak saya memiliki nilai yang lebih dengan kawan-kawannya yang ada dikelas biasa. Bagi orang tua manapun berita itu sudah pasti sangat menggembirakan. Ia menambahkan, .... “Papa dipanggil ibu guru .... untuk menghadap”. Saya pikir pasti ini terkait dengan materi-materi pendidikan yang akan diajarkan, pihak sekolah tersebut meminta data-data anak saya.

Setibanya diruang tertutup dan ber AC dingin, ibu guru tadi mengemukakan : “anak bapak diterima di kelas yang berstandard internasional. Bapak harus membayar sumbangan dua juta rupiah dan iuran tiap bulan dua ratus lima puluh ribu rupiah, plus buku-buku yang harus dibeli. Tolong dibayarkan pada minggu ini juga”.

Kemudian saya bertanya, :”Untuk apa pembayaran itu Bu ?”. Lantas ia menjawab, : “untuk sumbangan”. Saya tanya lagi, : “bukankah sekarang sekolah SD dengan SMP itu gratis ?”. Dia jawab, “ketentuannya hanya iuran saja, sedangkan yang lainnya harus bayar, Kalau Bapak mau silahkan membuat pernyataan kesanggupan diatas materai enam ribu. Isinya sanggup membayar uang sumbangan dan iuran setiap bulan”. Saya merasakan, betapa telah hilangnyaIdealisme pendidikan di negri yang telah ditebus oleh darah dan air mata para pahlawan kita. Mungkin tokoh-tokoh pendidikan seperti Ki Hajar Dewantoro, Dewi Sartika dan lain-lainnya akan sangat menyesalkan peristiwa ini. Mudah-mudahan para syuhada itu tidak merasa percuma memerdekakan bangsanya dari kebodohan.


Tidak cukup sampai disitu, saya pun bertanya tentang masalah buku sekolah, saya tanyakan juga, : “bukankah buku pelajaran sekolah juga gratis, dan pemerintah telah membeli dari para pengarangnya”. Ibu itu pun menjawab, : “buku-buku itu kwalitasnya rendah, harus beli sendiri, bahkan untuk pelajaran bahasa Inggris harus menggunakan kurikulum Singapura”. Padahal setelah saya cek harganya, tidak kurang dari sembilan ratus lima puluh ribu rupiah.

Saya memaklumi permintaan, karena agak sedikit khawatir, anak saya akan diperlakukan kurang baik nantinya. Sama dengan pengalaman anak saya yang pertama, ketika saya protes atas perlakuan senior-seniornya dulu di SMA.

Pada keesokan harinya, ketika saya melakukan pembayaran, saya pun meminta kwitansi pembayaran. Namun Bu Guru itu tidak mau memberikan tanda terima dengan alasan takut ada masalah. Saya katakan, : “Kalau ibu tidak mau, apa buktinya saya telah membayar”. Ibu Guru itu menjawab, : “saya tulis aja di notes bapak”. Lantas ia pun menuliskan catatan, “telah menerima uang sumbangan dan iuran bulanan”, tanpa menyebutkan jumlahnya. Saya pun melihat : “kok, ibu hanya memparaf saja”. Dia bilang ini sudah cukup, kami tidak mau menambahkan kalimat apapun karena tidak mau jadi masalah. Saya memaklumi kekhatiran guru itu, hingga ia pun secara tidak langsung mengajarkan saya untuk bagaimana caranya tidak meninggalkan jejak barang bukti. Sungguh pelajaran yang sangat bermanfaat saya, terutama jika saya menjadi koruptor nantinya.

Tentang kasus tanda terima ini dialami juga oleh teman saya, pegawai dasar di kantor. Anaknya diterima di SD Negeri. Lantas ia pun diminta untuk membeli seragam dan sumbangan sekolah. Teman saya bilang, : “anak saya sudah beli seragam”, tapi gurunya tidak mau tau. Lantas ia pun terpaksa membeli seragam itu.

Teman saya memiliki harapan, agar pembayaran itu dapat dimintakan sumbangan Zis di perusahaan. Tapi lagi-lagi pihak sekolah tidak mau mengeluarkan tanda terima, dengan alasan yang sama. Sungguh rupanya ada Modus Operandi baru tentang pungutan macam ini.

Sebelumnya, temen saya ikut rapat orang tua murid. Dewan Sekolah mengemukakan disekolah ini tidak ada pungutuan apapun. Namun pada akhir pertemuan, Dewan Sekolah meminta sumbangan juga. Temen saya tadi langsung menghadap dan mengemukakan alasan, :”bukankah ada bantuan bos dan RBT dari Depdiknas”. Dewan Sekolah lantas diam tidak bicara. Temen saya akhirnya tidak dimintai sumbangan, namun entah dengan orang tua murid lainnya yang tidak tau adanya sumbangan itu.

Mungkin anda atau siapapun yang mengalami masalah ini. Tentunya bisa merasakan, betapa kiat-kiat mencari uang saat ini telah terbungkus dengan rapih, bahkan sangat-sangat menguasai hukum, dengan cara meminimalisir adanya barang bukti, berupa tanda terima.

Jadi, masihkah kita mau berteriak dan bersyukur tentang adanya sekolah gratis ?. Bagaimana nasib anak-anak lain yang orang tuanya tidak mampu membayar uang sumbangan tersebut ?. Haruskan harapan meningkatkan taraf hidup dan pendidikannya berhenti di meja-meja itu ?. Walahuallam,

Tidak ada komentar: