Kamis, 24 April 2008

TAQDIR

Pemahaman seorang manusia terhadap takdir yang tak bisa disalahkan adalah  yang menjadikan sebagai orang yang fatalist, eufimisme dari orang-orang yang menyerahkan diri pada nasib. Menurut paham ini seluruh akibat disebabkan oleh Tuhan. Dalam pandangannya manusia hanya menjalankan nasib dan tak mampu melakukan apapun tanpa kehendak-Nya.

Paham ini masih banyak dianut masyarakat tradisional kita dan masyarakat sufi,  namun juga dimanfaatkan oleh mereka yang sangat mengandalkan rationalitas dan para feodalis yang menyenangi penghambaan. Dijaman Bani Umayyah alasan ini digunakan untuk mengklaim kebenaran kelompoknya, bahwa perilaku mereka yang tidak islami adalah atas kehendak Tuhan yang menakdirkan mereka untuk menjadi manusia yang demikian.

Faham-faham yang dianggap fatalistik bisa terjadi Pertama, karena memang memilki pemikiran yang benar-benar ikhlas menyerahkan diri kepada Tuhan, namun tanpa melakukan upaya untuk memperbaiki nasibnya. Faham ini memang benar-benar lahir dari paradigmanya, bukan dari kondisi miskin harta atau pengetahuan. Para penganutnya bukan hanya dari kelompok miskin tapi juga dari mereka yang sudah serba kecukupan. Memang sulit membongkar pemikirannya. Ciri-ciri dari para fatalist demikian sama sekali tidak tergantung pada ketiadaan material, namun segala sesuatu mengharapkan ridha sang pencipta.

Kedua, karena kondisi yang dialami tak mampu membantu memberdayakan hidupnya. Namun manusia harus percaya, bahwa suatu kondisi adakalanya bukan kondisi yang terjadi secara alamiah ; atau apa adanya, namun ada yang mengkondisikan. Misalnya Seorang petani pemilik tanah tiba-tiba diserobot, lantas iapun tak memiliki mata pencaharian dan ia pun jatuh miskin. Jika saja kondisi kemiskinannya dianggap sebagai takdir Tuhan, dan sipetani tidak berusaha mempertahankan haknya, sungguh hidup yang sia-sia. Karena : Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum tersebut tidak berupaya merubahnya”.

Dalam persepektif yang lebih serius, misalnya jika timbul pertanyaan, : “apa yang menyebabkan orang miskin ?”. bagi para fatalist kemiskinan adalah masalah nasib, kehendak Tuhan yang tak bisa dilawan manusia, iapun menyerahkan diri pada kehendak nasib, bahkan ada yang sama sekali menganggap tidak perlu melakukan upaya karena jika Tuhan menghendaki maka kemiskinan yang dialami akan berakhir. Jika meminjam istilah dari Imam Ali statement demikian seolah-olah menjadi tidak ada keharusan bagi manusia untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, padahal nasib itu tidak ada dan taqdir bukanlah ketentuan final. Jika tidak demikian maka konsep pahala dan dosa tidak berlaku.

Pandangan dari Imam Ali diatas, mirip dengan faham yang dianut kaum sosialis ilmiah dewasa ini. Baginya kemiskinan bukan nasib dari Tuhan, akan tetapi ada suatu sistim yang sengaja dibuat atau dilakukan manusia yang membuatnya ia miskin. Dalam paradigma kaum sosialias nafsu para kapitalis adalah biang dari segala kemiskinan manusia. Disisi lain para kapitalis memiliki justifikasi, bahwa terleminasinya manusia dari hak-hak ekonomi karena akibat ketidak mampuan melakukan survival, sedangkan kemampuan survival pra syarat penting dalam kehidupan yang bebas – liberal. Namun dalam paradima kapitalis liberalis siapapun harus memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing, tidak boleh ada proteksi – perlindungan kepada siapapun, tak peduli si lemah harus bersaing dengan si kuat – si miskin harus kalah dari si kaya, yang jelas ketika proteksi diberikan maka dianggapnya ada ketidak adilan.

Dalam pemikiran selanjutnya serta untuk melakukan pencerahan, ada beberapa pertanyaan yang muncul dari paradigma penganut teologi pembebasan dan madzhab kiri Islam (Hanafi). Misalnya, ketika seseorang datang ketempat anda, ia kelaparan dan meminta makan, apa yang akan anda berikan ?, doakah atau makanan ?. Jawaban atas pertanyaan ini diniscayakan memilih yang kedua. Namun bagi para fatalist, jawaban tersebut tak akan cukup memuaskan pendiriannya, karena anggapan keikhlasan untuk menerima kada dan kadar adalah yang paling utama, sehingga tidak akan pernah mampu merubah paradigmanya. Memang kepasrahan, keikhlasan dan penyerahan diri kepada hadirat Tuhan merupakan cara-cara yang benar, bahkan ketika manusia berada di Zero Mind mereka diniscayakan menemukan pencerahan maka ia berada didalam puncak keikhlasan, namun upaya (ikhtiar) juga merupakan perintah Tuhan yang perlu dilakukan manusia.

Pendapat yang mungkin perlu dikoreksi adalah tanggapan terhadap seluruh bencana alam. Pendapat ini membawa pada pemikiran, bahwa : Bencana alam lebih banyak dipersepsikan sebagai takdir. Manusia tak kan dapat merubahnya, manusia harus ikhlas menerima, karena masalah tersebut adalah kada dan kadarnya, ikhlas atau tidak, bencana tersebut diniscayakan akan menghampiri. Keyakinan ini meniscayakan rendahnya tingkat tanggung jawab manusia terhadap eksistensi alam dan segala bentuk fenomena yang terjadi. Banjir misalnya, tak mungkin dapat dilepaskan dari tingkah polah manusia para pembabat hutan. Sehingga jika manusia harus pasrah pada suatu kondisi yang memang dikondisikan maka manusia tersebut melepaskan diri dari upaya dan tanggung jawab sosialnya untuk mencegah bencana alam. Wallahuallam.(*)




Tidak ada komentar: