Rabu, 06 Juni 2012

Larangan Impor Sayur

Mengenang bulan Bung Karno seharusnya tidak bisa dilepaskan dari hakekat perjuangan dan keberpihakan Bung Karno terhadap warga bangsa ini, terutama terhadap kaum tani, yang dinamakannya kaum Marhaen. Konon kabar kaum Marhaen sekarang sudah tidak ada atau sangat menurun, namun bukan karena telah menjadi kelas menengah, melainkan turun menjadi buruh tani.

Jaman lalu sampai dengan 1980 an para pencipta lagu anak-anak kerap membuat lagu yang berhubungan dengan oleh-oleh paman, bibi, nenek atau kakek dari kampung yang selalu membawa buah dan sayuran. Liburan anak-anak pun paling diminati bermain disawah, kebun dan suasana lainnya yang menggambarkan lingkungan pertanian. Tapi peran peran tersebut saat ini dikalahkan tokoh-tokoh perkasa yang menggunakan teknologi canggih dari negeri orang. anak-anak pun nyaris kehilangan panutan asli dalam negeri. Yang lebih parah, suasana pedesaan yang membawa misi pertanian dalam membentuk paradigma bangsa ini menjadi asing, bahkan terbalik, oleh-oleh berupa buah-buahan dan sayur sekarang dibawa dari kota kepedesaan, dan penduduk desa pun mengkonsumsi produk pertanian luar negeri.

Masalah pertanian saat ini agak kurang berdentang keras di senayan karena mungkin kurang laku jual. Kalaupun ada biasanya di mix dengan kisah pertanian yang memiliki kapasitas besar, seperti agro industri, agro bisnis dan agro-agro lainnya yang memiliki bahasa keren dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Padahal faktor penting yang mampu mempertahankan ketahanan pangan warga bangsa terletak dipedesaan berikut pertaniannya.

Baru saja kemaren para pemangku kebijakan disadarkan, bahwa ketahanan pangan yang biasanya dijadikan ajang kampanye sudah sangat terancam, menghantam mata pencaharian penduduk dan para penanam pun sudah mengkonsumsi barang impor. Oleh karena itu dikeluarkan aturan permendag tentang larangan impor buah dan sayur. Namun rupanya asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengajukan keberatan dengan salah satu aturan dalam permendag tentang larangan impor buah dan sayur. Beberapa poin menyebutkan peritel tidak diizinkan untuk mengimpor buah dan sayur secara langsung, namun harus melalui tiga distributor. Tutum merasa terganggu dengan diwajibkannya ritel untuk membeli barang yang disediakan oleh distributor. Menurutnya, hal itu akan memperpanjang rantai distribusi sehingga harganya menjadi lebih mahal. Mungkin Tutum hanya melihat sekelumit kecil dari keuntungan yang biasanya didapatkan, tanpa melihat keuntungan apa yang telah hilang dari masyarakat petani. Karena para pedagang biasanya tidak perlu tau, sayuran atau buah-buahan itu produk siapa, yang penting laku jual dan mendapatkan margin, berupa keuntungan yang besar.

Tragis memang hidup petani dikancah kemajuan negeri ini. Seharusnya mereka pun maju dan mampu menggunakan teknologi modern untuk mengolah lahan pertaniannya, malahan menjadi obyek penjualan bahan-bahan pertanian berikut mereka pun mengkonsumsi produk luar. Sebut saja petani padi, sejak menabur bibit, menebar pupuk dan pestisida, semua harus tergantung kepada produk luar. Produk-produk yang dinegara asalnya sendiri sudah dihindarkan, karena terkait dengan bahaya dari revolusi hijau. Pak Tani saat ini bukanlah seorang Marhaen yang memiliki lahan sendiri dan mengelola tanah sendiri, melaikan sudah menjadi buruh tani, atau buruh dilahannya sendiri yang sudah dijual kepada orang kota. Mungkin para pemimpin bangsa ini perlu melihat kembali konsepsi dasar pembangunannya. Bukan hanya sekedar membangga-banggakan liberalisme, melainkan perlu melihat jauh kedalam kehidupan petani, tegas dalam mempertahankan ketahanan pangan, serta memiliki keberpihakan terhadap kaum petani.

Memang proteksi terhadap petani pun didalam paradigma liberalisasi dangat diharamkan, karena terkena dengan aturan proteksi. Akan tetapi jika dilihat di Amerika maupun Rusia, keberpihakan semacam ini sangat lumrah. Siapa yang akan membela petani jika bukan pemimpinnya. Bukankah para pemimpin digaji dengan cucuran keringat rakyat dalam bentuk Pajak ?.



Tidak ada komentar: