Jika saya mengatakan
‘buah’, apa yang ada dipikiran anda ? tanya saya dalam suatu kelas.
Peserta 1 : “saya
membayangkan buah segar, agak asam tapi manis.”
Pesera 2 : “buah
buahan sepertti apel, mangga dan jeruk.”
Jawaban kedua peserta
tersebut berbeda-beda, termasuk sangat berbeda dengan yang dipikirkan dibenak
masing-masing. Padahal saya waktu itu bertanya setelah melihat kalimat dari
koran tentang banyaknya impor buah-buahan. Topik sebenarnya yang saya ingin
bicarakan masalah impor buah-buahan. Persepsi demikian kadang kala menimbulkan
kerancuan dalam pergaulan maupun kehidupan kita. Apa yang kita pikirkan belum
tentu sama dengan yang dipikirkan orang atau sebaliknya. Sehingga tak pelak
lagi jika sering terjadi miss
komunikasi.
Ketika saya membuat
status di FB tentang suatu peristiwa dan harapan, ada yang menanggapi yang sama
sekali tak sesuai dengan maksud yang saya pikirkan. Saya pun mencoba membiarkan
persepsi ini berkembang, bertujuan agar lebih tahu tentang apa yang dimaksud
oleh yang menanggapi tulisan saya. Siapa tahu akan menjadi pengetahuan baru
bagi saya. Hasilnya memang berbagai macam. Ada yang memang benar-benar out of
contact karena sesuai dengan apa yang penanggap pikirkan, tapi ada juga
informasi yang baru saya ketahui tentang sesuatu hal.
Pada persoalan lain,
persepsi bisa juga menjadi sangat membahayakan. Misalnya, ketika seorang
pemimpin menerima kritik, lantas kepada bawahannya memerintahkan : “Bereskan
orang itu !” Tanpa ketegasan dan konfirmasi dari apa yang dimaksud dengan
‘bereskan’, mungkin akan ditafsirkan yang berbeda oleh sipenerima perintah.
Tergantung latar belakang pembelajaran, ingatan, harapan, dan perhatian
sipenerima perintah. Karena persepsi terjadi di luar kesadaran. Oleh karenanya
bisa saja perintah bereskan itu dilaksanakan dengan cara menghilangkan
nyawanya, atau dibereskan dengan cara-cara yang baik agar sipemberi kritik
sadar untuk tidak memberikan kritik lagi.
Persepsi bukan fitnah
tapi bisa menjadi fitnah. Oleh karenanya dunia hukum memagarinya dengan azas azas praduga tak bersalah. Persepsi juga bisa menuntut
orang berpikiran lain, seperti ketika biaya sekolah meningkat, banyak anak-anak
yang tak mampu melanjutkan sekolah. Lantas ada orang yang bicara :”orang miskin
dilarang bersekolah ” ada juga peristiwa yang terkait dengan mahalnya biaya
perawatan rumah sakit, lantas ada juga yang berteriak : “Orang miskin dilarang
sakit”. mungkin benar persepsinya, karena dengan peningkatan biaya
menyebabkan ada kelompok masyarakat yang tidak bisa sekolah atau dirawat di
rumahsakit. Tapi belum tentu pula orang miskin tidak bisa bersekolah atau
dirawat di rumah sakit, karena toh masih ada peluang untuk mengurus bantuan
anak sekolah dan BPJS. Bukankah dalam konstitusi kita menyebutkan :”orang
miskin dan anak terlantar diurus oleh negara.” Sekalipun memang belum
seluruhnya bisa dilakukan.
Konon Persepsi atau
tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi yang memberikan
gambaran dan pemahaman tentang sesuatu, dibentuk oleh apa yang dipelajari; apa
yang ada dalam ingatannya; apa yang menjadi harapannya; dan apa yang sedang
menjadi perhatian pembuat persepsi. Oleh
karenanya, persepsi belum menjamin kebenaran atau ketepatan yang real dari
maksud yang ditanggapi atau diresponnya.
Jika anda perhatikan
dengan seksama, pada gambar dibawah, saya ambil dari buku 7 habits,
paling tidak ada dua gambaran yang bisa kita lihat. Biasanya tergantung dari
apa yang sedang kita pikirkan. Jika kita berpikir tentang perenpuan cantik,
maka kita akan melihat seorang perempuan cantik bermatel bulu. Tapi kalo
pikiran kita sedang memikirkan nenek-nenek, maka akan nampak seorang
nenek-nenek yang berhidung panjang.
Untuk menghindari miss
komunikasi dari kesalahan persepsi, mungkin ada baiknya jika kita melakukan
konfirmasi kepada sipenerima perintah atau orang yang mengatakan tentang
sesuatu. Karena bisa saja persepsi kita yang salah dan memancing masalah baru
yang semula tidak menjadi masalah. Dalam istilah kalimat ibu saya : “mending
bodo alewoh daripada pinter kabalinger” (lebih baik disebut bodoh tapi berani
bertanya, daripada jadi orang pinter tapi keblinger).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar