Senin, 06 April 2015

Persepsi Perlu Konfirmasi

Jika saya mengatakan ‘buah’, apa yang ada dipikiran anda ? tanya saya dalam suatu kelas.
Peserta 1 : “saya membayangkan buah segar, agak asam tapi manis.”
Pesera 2 : “buah buahan sepertti apel, mangga dan jeruk.”
Jawaban kedua peserta tersebut berbeda-beda, termasuk sangat berbeda dengan yang dipikirkan dibenak masing-masing. Padahal saya waktu itu bertanya setelah melihat kalimat dari koran tentang banyaknya impor buah-buahan. Topik sebenarnya yang saya ingin bicarakan masalah impor buah-buahan. Persepsi demikian kadang kala menimbulkan kerancuan dalam pergaulan maupun kehidupan kita. Apa yang kita pikirkan belum tentu sama dengan yang dipikirkan orang atau sebaliknya. Sehingga tak pelak lagi jika sering terjadi miss  komunikasi.

Ketika saya membuat status di FB tentang suatu peristiwa dan harapan, ada yang menanggapi yang sama sekali tak sesuai dengan maksud yang saya pikirkan. Saya pun mencoba membiarkan persepsi ini berkembang, bertujuan agar lebih tahu tentang apa yang dimaksud oleh yang menanggapi tulisan saya. Siapa tahu akan menjadi pengetahuan baru bagi saya. Hasilnya memang berbagai macam. Ada yang memang benar-benar out of contact karena sesuai dengan apa yang penanggap pikirkan, tapi ada juga informasi yang baru saya ketahui tentang sesuatu hal.

Pada persoalan lain, persepsi bisa juga menjadi sangat membahayakan. Misalnya, ketika seorang pemimpin menerima kritik, lantas kepada bawahannya memerintahkan : “Bereskan orang itu !” Tanpa ketegasan dan konfirmasi dari apa yang dimaksud dengan ‘bereskan’, mungkin akan ditafsirkan yang berbeda oleh sipenerima perintah. Tergantung latar belakang pembelajaran, ingatan, harapan, dan perhatian sipenerima perintah. Karena persepsi terjadi di luar kesadaran. Oleh karenanya bisa saja perintah bereskan itu dilaksanakan dengan cara menghilangkan nyawanya, atau dibereskan dengan cara-cara yang baik agar sipemberi kritik sadar untuk tidak memberikan kritik lagi.

Persepsi bukan fitnah tapi bisa menjadi fitnah. Oleh karenanya dunia hukum memagarinya dengan azas azas praduga tak bersalah. Persepsi juga bisa menuntut orang berpikiran lain, seperti ketika biaya sekolah meningkat, banyak anak-anak yang tak mampu melanjutkan sekolah. Lantas ada orang yang bicara :”orang miskin dilarang bersekolah ” ada juga peristiwa yang terkait dengan mahalnya biaya perawatan rumah sakit, lantas ada juga yang berteriak : “Orang miskin dilarang sakit”. mungkin benar persepsinya, karena dengan peningkatan biaya menyebabkan ada kelompok masyarakat yang tidak bisa sekolah atau dirawat di rumahsakit. Tapi belum tentu pula orang miskin tidak bisa bersekolah atau dirawat di rumah sakit, karena toh masih ada peluang untuk mengurus bantuan anak sekolah dan BPJS. Bukankah dalam konstitusi kita menyebutkan :”orang miskin dan anak terlantar diurus oleh negara.” Sekalipun memang belum seluruhnya bisa dilakukan.

Konon Persepsi atau tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi yang memberikan gambaran dan pemahaman tentang sesuatu, dibentuk oleh apa yang dipelajari; apa yang ada dalam ingatannya; apa yang menjadi harapannya; dan apa yang sedang menjadi perhatian pembuat persepsi.  Oleh karenanya, persepsi belum menjamin kebenaran atau ketepatan yang real dari maksud yang ditanggapi atau diresponnya.

Jika anda perhatikan dengan seksama, pada gambar dibawah, saya ambil dari buku 7 habits, paling tidak ada dua gambaran yang bisa kita lihat. Biasanya tergantung dari apa yang sedang kita pikirkan. Jika kita berpikir tentang perenpuan cantik, maka kita akan melihat seorang perempuan cantik bermatel bulu. Tapi kalo pikiran kita sedang memikirkan nenek-nenek, maka akan nampak seorang nenek-nenek yang berhidung panjang.

Untuk menghindari miss komunikasi dari kesalahan persepsi, mungkin ada baiknya jika kita melakukan konfirmasi kepada sipenerima perintah atau orang yang mengatakan tentang sesuatu. Karena bisa saja persepsi kita yang salah dan memancing masalah baru yang semula tidak menjadi masalah. Dalam istilah kalimat ibu saya : “mending bodo alewoh daripada pinter kabalinger” (lebih baik disebut bodoh tapi berani bertanya, daripada jadi orang pinter tapi keblinger).


Tidak ada komentar: