Selasa, 18 September 2012

Pilkada DKI

Jika saja menoleh kemasa lalu, terutama pada masa orba, pesta demokrasi biasanya diselingi dengan isue ekstrim kiri atau ekstrim kanan bagi lawan-lawan politiknya yang tidak disukai rejim. Namun masa sekarang isue Pilkada semakin mengkhawatirkan kalo boleh dibilang mengerikan, karena isue SARA sudah sangat jauh menyentuh kedalam relung persatuan. Dikhawatirkan kondisi negara seperti mundur kemasa sebelum tahun 1928, dimana segenap elemen bangsa belum menyatakan diri sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Pada tahun 1928 itulah ke BHINEKA-an Nusantara menemukan IKA nya, untuk kemudian mampu mengantarkan memerdekakan diri pada tahun 1945.


Isu Pilkada seharusnya adalah pertarungan konsep dan gagasan serta ajakan bagi rakyat untuk memilih secara cerdas. Sehingga tidak berpotensi konflik dan kekerasan politik. Apapun alasannya, isu SARA pilkada ini hanya sesaat namun ekses yang akan terjadi akan berdampak lama dan jangka panjang, bahkan mengancam keutuhan negeri, apalagi Jakarta adalah ibukota negara, raut muka negeri ini. Perlu disadari bahwa isu masyarakat republik kita saat ini sangat emosional, sensitif, tapi mudah lupa. Di satu sisi kegamangan aparat dalam melakukan tindakan akan sangat terkendala dengan paradigma HAM. Inilah yang membuat bara perpecahan.

Jakarta seharusnya pandai memerankan fungsinya sebagai etalase kemajemukan atau pluralisme bangsa, mampu mencerminkan toleransi antar umat beragama, menampilkan keberadaban bangsa ini yang konon disebut sebagai bangsa yang ramah. Selebihnya bisa mencerminkan kepeloporan Humanisme, seperti dahulu ketika Indonesia menjadi tokoh bangkitnya gerakan non blok.

Tidak ada komentar: