Senin, 13 Oktober 2008

Catatan Perjalanan

Semua orang memiliki sejarah hidup, tidak peduli itu si dadap, siwaru atau menak dan raja sekalipun, hanya saja apakah dia mengetahui sejarahnya atau tidak, peduli atau tidak peduli. Bagi aku sejarah adalah sesuatu yang dapat menjelaskan dari mana aku ; siapa aku ; untuk apa aku ada dan mau kemana aku. Seluruhnya bisa menjelaskan jati diri aku, mengapa aku saat ini memiliki eksistensi.

Sejarah dapat menjiwai eksistensi seorang manusia. Banyak orang yang menuntut haknya karena akar kesejarahan nya, tapi banyak juga orang yang malu karena kesejarahannya. Sejarah sebaiknya dijadikan cermin tentang kita.

Sejarah dapat menjiwai eksistensi seorang manusia. Banyak orang yang menuntut haknya karena akar kesejarahan nya, tapi banyak juga orang yang malu karena kesejarahannya. Sejarah sebaiknya dijadikan cermin tentang kita. Karena cerimlah yang paling jujur menerangkan tentang diri kita. Dari penceriminan bias diambil hikmah, yang baik tetap dipertahankan dan ditingkat, yang buruk ditinggalkan dan digantikan.

Dari awal ini aku hanya ingin mengenang sejarah, mudah-mudahan dapat bermanfaat buat anak dan cucuku nanti. Bukan “agul ku payung butut” atau pamer kemegahan masa lampau, paling tidak anak cucuku akan tahu, siapa dirinya. Dengan cara itu, mereka mengenal Tuhannya.

Karuhun
Lahir di Bandung tepatnya di rumah sakit Boromeus, dari ayah bernama Nunung Satia – asli “Urang Bandung” asli. Leluhur Bapak banyak yang dimakamkan di daerah Kebun Kopi Cibeureum Bandung, daerah perbatasan Cimahi - Bandung, Seperti Eyang R. Karsewi dan Eyang Djumsari. Sejak kecil Bapak dirawat di keluarga Ibu Mariah / Ibu Iyah - Iisri Mama Suganda, perintis kemerdekan) di Gang Luna Andir Bandung.

Kakek dari Bapak tinggal didaerah Ciranjang Cianjur, konon kabar beliau termasuk pasukan Hisbullah didaerah itu, karena uyut dahulu ngumbara kedaerah sana, sewaktu dikejar Belanda. Rumah Uyut sering kedatangan Dalem Cianjur, entah hubungan keluarga dari mana, kata basa sunda mah “Pareumeun Obor”. Karena Bapak bilang “Ulah agul ku payung butut”. Banyak sejarah yang Uyut rahasiakan, terutama yang terkait dengan leluhur. Tapi banyak daerah disana yang diberi nama sesuai dengan kondisi Uyut waktu itu, seperti pangicisan, hegar manah dan lainnya.

Ibu dari Bapak orang Cirebon, tepatnya didaerah Trusmi. Ketemu Aki waktu di Bandung, agak kesulitan untuk mencari jujutan keatas, karena Nenek meninggal setelah melahirkan Bapak.

Bapak seorang aktifis partai nasionalis, anggota dewan, pejabat di Kota Praja Bandung, dan ia pun pesilat yang baik. Pernah dididik Bapak mengajar silat bagi anak-anak. Bahkan pada waktu masih SMP sudah memiliki murid sampai 40 orang. Tapi silat seni. Bapak peminat sejarah yang sangat kritis, teritama masalah sejarah nasional. kadang apa yang diceritakan berbeda dengan yang diterima di sekolah pada waktu itu. Bapak sering mengajak berjiarah ke makam leluhur dan menjelaskan tentang sejarahnya. Bapak seorang teman sekaligus lawan diskusi yang paling menarik. Beliau pun orang yang sangat teguh pendiriannya, terutama ketika bicara nasib orang banyak. Bapak meninggal tahun sembilan puluh satu di Ciwidey. Namun sampai dengan meninggal beliau tidak mau mengurus hak-haknya untuk merehabilitir nama dan jabatannya.
Penyambung Lidah Rakyat

Ibu ku RA. Maetini atau sering disebut Ibu Enden, Putri pertama dari R. Abeng Wangsaiatna, pejabat kehutanan di daerah Cimanggu – Cipanas. Sebelumnya beliau dari daerah Subang Jawa Barat, putra dari R. Wangsanegara yang meninggal di Banten dan dikebumikan di pemakaman Kraton Banten. Uyut salah satu putra dari Dalem Sawidak (lupa deh, Garut atau Manganten).

Ibunya Ibu atau Mamah Haji Kulsum, putri Uyut Ace Partadireja, salah satu petinggi di Cikampek, sehingga sering disebut embah Kampek. Uyut Ace asalnya dari daerah Citalang – Cikal Bakal Kota Purwakarta, karena buyut moyangku termasuk pendiri kota Purwakarta, bahkan rumah keluarga ku sekarang dijadikan Rumah Cagar Budaya yang dilindungi Pemerintah – pernah di jadikan lokasi film Banyu Biru. Bahkan makam leluhurku disana sering dijadikan tempat jiarah.
Masa Kecil
Sewaktu umur enam tahun Bapak ditahan rezim orba, karena Bapak orang yang sangat fanatik terhadap Bung Karno, dan setelah tujuh tahun beliau dibebaskan dengan secarik kertas yang ditanda tangani Mr. Soedomo, inti surat itu menerangkan “Tidak terlibat G-30 S/PKI dan Jabatan bisa direhabilitir”. Jadi bisa juga dikatagorikan “Bapak termasuk korban Orde Baru”.

Ketika kecil merasakan bagaimana harus diperiksa tentara, harus antri untuk ketemu Bapak, wah rasa-rasanya ada luka hati, pengen cepet besar dan membela Bapak. Sampe sekarang rasanya geremet jika liat ada orang yang dianiaya.

Sudah tujuh tahun menderita dirumah tanahan militer, hanya sekedar tuduhan, trus hanya dibebaskan begitu saja, tanpa peradilan, mereka tak mampu membuktikan keterlibatan Bapaku didalam Scenario mereka tentang ada pemberontakan, karena beliau memang seorang nasionalis. Kalaupun dianggap salah karena waktu itu Bapak termasuk anggota Barisan Pendukung Soekarno. Wajar mempertahankan Presidennya yang legitimit. Tapi syukurlah kami masih bisa berkumpul lagi dengan Bapak, dimata kami adalah seorang Pahlawan, yang benar-benar mencintai bangsanya. Bahkan sampai beliau meninggal tak pernah mau menuntut rezim orba untuk mengembalikan hak-haknya, Bapak hanya menyadari “itulah konsekwensi dan pengorbanan untuk sesuatu yang kita yakini”.

Kondisi penangkapan Bapak sangat mempengaruhi keluarga kami. Saya anak kecil yang tadinya manja, pergi kemanapun dikawal. Gak pernah susah, tiba-tiba harus mengalami keaadaan yang sangat sulit, sering berpikir, jika pagi ini bisa makan apakah nanti malam kami masih bisa makan ?. Identitas keluarga pun harus disembunyikan, karena sekolah jarang yang mau menerima kami sebagai muridnya, kitapun menyadari karena mereka pun memiliki ketakutan. Namun ada beberapa Guru yang sangat mengenal Bapak ketika masih menjadi anggota BPH di Kodya Bandung, mau menerima sebagai muridnya, dengan syarat harus mengganti nama orang tua. BIasanya diganti dengan nama Kakek.

Memang sewaktu umur dua sampai 13 tahun ikut Mamih, istri Papah ketutunan Belanda. Apapun masalahnya aku numpang dikeluarga lain, jauh dari Ibu. Sekalipun pada waktu itu ibu bukan tidak mampu mengurusku, melainkan karena keinginan Bapak. Setiap hari bangun setelah bedug subuh, trus sembahyang subuh dan bersih-bersih rumah. Adakalanya saudara-saudara Bapak yang tahu waktu masa kecil aku menangis melihat kehidupanku. Tapi mereka tak ada yang berani merawat aku karena pesan Bapak agar aku tetap dekat dengan Bapak. Mungkin suatu pengalaman hidup masa kecil yang tidak perlu dialami anak cucuku. Mudah-mudahan Tuhan mendengar do’a ku.

Ditempat permainan sering agak minder jika disebut anak orang Tapol PKI. Namun aku tidak pernah marah karena Bapak sering menasehati tentang perlunya sabar dan tidak cengeng. iapun meyakinkan aku bahwa beliau bukan orang yang terlibat G 30/S PKI. Hiburan yang paling menggemberikan adalah membaca buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia dan Buku Maha Brata yang ditulis R.A, Kosasih. Biasanya aku membaca buku di “kolong ranjang” agar tidak diketahui orang lain.

Penafsiran dan tuduhan semacam ini bukan hanya dialami ketika aku kecil, tapi ketika ikut jadi aktifis banyak temen-temen yang dicekoki rezim orba, pura-pura Soekarnois tapi menuduh komunis bagi temen –temen lainnya, terutama ketika berebut jabatan pengurus. Aku pun masih di cap anak orang yang terlibat G.30/S-PKI, ditutup gerak langkahku. Tapi rupanya mereka kecele basah, karena aku tidak berniat menjadi tokoh partai, apalagi menghalalkan segala cara, ketika aku aktif tidak ada terbersit dalam pikiran untuk menjadi tokoh partai, karena semata-mata tuntutan sejarah, perlu ada perlawanan terhadap rezim otoriter dan antek barat. Alhamdulillah, masyarakat di tempat aku remaja sampai saat ini masih mengenalku, terutama karena adanya pemberontakan pada pemilu 1982.

Liburan masa kanak-kanak ku sering dilalui diruangan tahanan Bapak, karena sering ikut nginep, ditahanan Jika ada pemeriksaan disembunyikan diruang lain, atau pura-pura sebagai penjaja rokok yang menawarkan kepada para tapol, tapi kedekatan dengan bapak adalah hiburan. Didalam banyak teman sesama tahanan Bapak dari berbagai golongan. Militer, politikus, aktifis mahasiswa, bahkan para perampok kelas berat, seperti om Taufik. Mereka sangat menyayangi aku, sering memberikan coklat, bahkan om Amirin sering mengajarkan menyanyi. menasehati agar bisa menjadi orang yang memiliki nurani. Bagiku rumah tanahan itu tidak asing, makanan jatah tahanan aku makan, apapaun yang bisa dimakan. Hal ini menjadi terbiasa ketika harus tidur di sel tahanan sewaktu ikut berdemo atau dituduh maker oleh pemerintah Orde Baru.

Pengalaman didalam tahanan ini membuatku menjadi terbiasa dan banyak pengetahuan yang didapatkan. Dari cara berdiskusi sampai membahas isue-isue perubahan. Kadang sebelum aku tidur bercerita tentang sejarah bangsa ini, dengan tekun aku dengarkan. Sejak itu terbiasa membaca buku Dibawah Bendera Revolusi dan Penyambung Lidah Bangsa. Buku-buku itu aku temukan dari sisa buku-buku Bapak yang dibakar. Bekal inilah yang sering digunakan untuk menjadi refernsi ku sesama kaum nasionalis, atau berdiskusi dihadapan temen-teman LSM lainnya di Bandung, Padang, Bukittinggi dan Jakarta.

Pendidikan dan Aktifitas
Kalo pendidikan non formal aku dapatkan dilingkungan masyarakat dan sewaktu numpang nginep di sel tahanan Bapak. Lingkungan tempat tinggal terdiri dari masyarakat Nahdliyin, sehingga dari cara melakukan ritual agama sangat dipengaruhi ka um nahdliyin. Tapi aku pun pernah ikut pengajian di masjid Persatuan Islam, dari sini aku tahu tentang adanya perbedaan fiqih dari kaum muslimin dan membuat aku makin toleran terhadap adanya perbedaan.

Sering diskusi dengan saudara-saudara lainnya yang beragama Kristen, Budha dan Hindu, bahkan Aliran Kepercayaan (Perjalanan). Dari temen-temen dan para sesepuhnya mendapatkan pengetahuan yang berarti tentang sejarah Nuswantara pada umumnya dan khususnya “Sejarah Urang Sunda”. Ternyata urang sunda itu tidak animis. Dari sana aku tahu bahwa ternyata Indonesia itu sangat pluralis, sekalipun hegemoni dari para penguasa terhadap yang lainnya masih terasa sampai sekarang. Demikian pula masalah sejarah nasional, terutama tentang Bung Karno, di dapatkan dari obrolan Bapak dengan teman-temannya ditahanan.

Karena keadaan dan didikan Bapak, aku sering bergaul dengan petani, tukang becak dan buruh gali, bahkan aku pernah menjadi petani. Dari sini komitmen untuk memiliki semangat membela yang lemah bias tetap terjaga. Latar belakang ini mendorong aku dulu untuk sedikit bermain di “area pemberontakan”.

Pendidikan Formal dilakukan ditempat yang berpindah-pindah. Karena keadaan keluarga dan terpaksa harus menyembunyikan identitas keluarga. Taman Kanak-kanak di lalui di Bandung, tepatnya di Jalan Engkol dan Bayangkari (Lodaya Bandung). Sejak kecil aku terbiasa jalan kaki untuk jarak yang cukup lumayan jauh. Kemudian masuk sekolah di SD Cibuntu Bandung, pindah ke Cibeureum dan Ciranjang. Terakhir pindang ke Cibeureum dan menamatkan SD di Ciwidey. Tapi rentang perjalanan nomaden itu, tetap juara kelas dan jadi ketua kelas.

SMP dilalui didaerah Pasirjambu Bandung, aktifitas dimulai dari jadi ketua kelas dan pramuka. Sore hari ikut pengajian dirumah Guru Agama. SMA di lalui di SMA 6 Bandung, Jurusan IPA (Paspal), diluaran mulai ikut-ikutan aktif di Pecinta Alam dan LSM Lingkungan, bahkan disamping menjadi Pembina Pramuka aku sudah mulai melek politik dan aktif mengorganisir temen-temen untuk melawan Orde Baru. Diderahku di wakili oleh Golongan Karya, lengkap dengan slagorde-nya, seperti AMS, AMPI dan segala macam bentuk organisasi pendukungnya.

Mereka semula mencoba mengajak berdiskusi dan masuk keorganisasinya, tapi aku menolak, bahkan tak jarang harus menghadapi teror dijalan raya, dengan cara ditabrak motor, atau cara lainnya yang mengancam agar tidak ketakutan dan tidak menentang gerakan mereka. Polisi dan Koramil pun tak pernah mau menggubris laporan aku, bahkan balik dituduh ekstrem kiri, suatu sebutan yang mereka sendiri tidak paham. Padahal umur baru saja menginjak 17 tahun.

Tuduhan semacam itu dikenakan juga kepada temen-temen aktifitas dari partai dan ormas lainnya diluar Golkar. Bagi mereka yang aktif di partai dan ormas Islam dicap ekstrem kanan, namun bagi berorientasi gerakannya tidak menggunakan bendera agama di cap ekstrem kiri. Wuuuihhhhh ..... antek Kapitalis.

Pada 1982 anak-anak PDI didaerah dicap Komunis, tapi waktu itu seolah-olah memiliki kesepakatan dengan temen-temen yang ada di Partai Persatuan Pembangunan untuk bersama- sama menentang Golkar dan ormas-ornasnya, suatu yang tidak mengherankan ketika pada masa selanjutnya muncul koalisi gerakan yang menyebut kelompok mereka "Mega Bintang". suatu koalisi kepentingan untuk menghancurkan orba, dan bukan koalisi ideologi.

Aku gerakan untuk konvoi berbarengan, entah dari mana, anak-anak jadi bringas dan dijadikan pelampiasan dendam. Aku lihat di sudut jalan Komandan Koramil ketakutan, dan ada Hansip yang meninggal dunia, entah dibunuh siapa ?. kemudian timbulah peristiwa Soreang, yang memaksa aku harus hijrah ke Jakarta. Bapak waktu itu sudah diluar. Dan aku sangat khawatir Bapak dituduh lagi. berdasarkan kesepatakan teman-teman akupun harus pindah ke Jakarta. Bapak hanya berpesan, "Selama kegiatan kamu bukan kriminal dan kamu membela orang yang lemah, Papah akan sangat bangga, karena itulah sejatinya hidup".

Sekolah di jurusan IPA sangat tidak aku sukai, terutama jika harus belajar Ilmu Kimia., karena akan sangat berminat mempelajari sejarah yang ada di Jurusan IPS. Namun tetap aku paksakan hingga lulus dengan angka yang pas pasan. selain itu, lebih banyak ikut kegiatan ekstra dan diluar sekolah ketimbang ikut kursus lain agar dapat diterima di Perguruan Tinggi Negeri.

Kuliah mengambil jurusan Ekonomi Perusahaan. Sebagai jalan tengah tidak masuk ilmu pasti namun ada digerbang ilmu-ilmu sosial. Sewaktu kuliah sudah mulai menggunakan kegiatan yang sangat terorganisir dan memilih salah satu kelompok Cipayung, yaitu Gerakan Mahasiwa Nasional Indonesia (GMNI). Waktu itu organisasi ini tidak memiliki hubungan organisatoris dengan PDI. sekalipun demikian secara emosional masih memiliki hubungan karena sama-sama mengusung bendera nasionalis. Aku masih terkesan ketika kakak-kakak dari GMNI sebelum tahun 1966 banyak yang berkumbul dirumahku, mereka banyak berdiskusi. akupun menyaksikan banyaknya kakak-kakak GMNI Bandung yang tergabung dalam barisan Sukarno luka-luka dirumahku, karena mereka diserang ditengah jalan. Itulah kenangan masa kecilku tentang GMNI.

Pada masa aku remaja (tahun 1980-an), banyak para aktifitas PDI banyak yang meminta untuk berada di garis partai secara formal, memang aku agak ragu, karena tidak yakin aspirasi yang dilakukan melalui partai pada waktu itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh para aktifis lainnya yang kebanyakan hanya berorientasi jabatan. Disamping itu banyak senior-senior nasionalis yang mencap PDI sebagai anteknya Orba, tidak Sukarnois. Namun untuk menyalurkan aktifitas politik, aku pun banyak bergiat di PDI. Akupun memilih garis GMNI untuk tidak berpolitik praktis, denganharapan banyak ilmu tentang nasionalisme yang bisa aku raoh disini. Namun aku tetep memberikan waktu untuk temen-temen berdiskusi dan membantu melakukan kaderisasi dan mengenalkan tentang nasionalisme sesuai ajaran BK. Bahkan kadang aku harus tersenyum ketika tahu adanya temen-temen yang melarang aku bergaul dengan orang PDI pada saat itu, namun mereka banyak yang menjadi aktifis partai Golkar maupun PDI pada saat yang sama.

Pada waktu itu pula masih jadi pembinan Pramuka dan sekaligus aktif di Resimen Mahawarma. Di Pramuka banyak kesempatan untuk membantu membina anak-anak SD dan SMP terutama bagaimana mereka dapat mencintai negeri ini. Dan alhamdulillah bangga juga melihat mereka banyak yang berhasil, bahkan ada yang menjadi Tentara yang sangat Patriotis, atau menjadi guru dan dosen dan mereka sangat mencintai Negeri ini. Di Resimen Mahawarman aku pelajari masalah kepemimpin dan disiplin. Mengingat saat itu Mahawarman dianggap resimen mahasiswa yang memiliki ciri mandiri yang sangat berdisiplin, dahulu baretnya Biru dan lambangnya khusus, tapi diseragamkan seluruh Indonesia jadi Baret Ungu. Dari Mahawarman aku memperoleh aku terdidik untuk menjadi orang yang tangguh dan tidak mudah menyerah, serta mencintai tanah air. Pernah mengikuti latihan di Secaba Pangalengan dan ikut melatih di Ciuyah Banten. Jadi masalah Taktik Pertempuran Ringan Anti Gerilya (TPRAG) atau Dril Pertempuran Ringan (DPR) pasti tau.

Dalam keseharian dilingkungan rumah, akupun menjadi Ketua Pemuda, untuk kemudian membagi kegiatan Pemuda menjadi Karang Taruna dan Taruna Karya, Padahal mereka tahu jika aku bukan orang Golkar, satu-satunya ketua Pemuda di desaku yang bukan anggota Golkar. Dari sini temen-temen banyak bersosialisasi dengan masyarakat, seperti melakukan gotong royong dan olah raga. Akupun pada wakttu itu aktif di Pecinta Alam dan pendaki gunung, lumayan untuk menghilangkan penat dikota, bahkan saat ini masih menyandang sebagai Ketua.

Sekalipun kegiatan tersebut dianggap mereka positif, namun tetap dicurigai dan dimata-matai. Pernah dalam suatu hari melakukan Persami dan membawa anak-anak Siaga dan Penggalang, kedaerah Sukawening. Tapi waktu kegiatan malam perkemahan di kepung mereka, dengan alasan aku sedang menggalang untuk menentang Golkar. Padahal waktu itu acara pas lagi-lagi nyanyi-nyanyi Pramuka. Pramuka yang aku hanyalah anak-anak SD, tau apa dia tentang politik. Yang jelas anak-anak menjadi sangat ketakutan, namun aku hibur dengan cerita-cerita tentang anak kecil yang mampu mengalahkan Denawa, atau kuceritakan tentang anak-anak yang menentang raja yang lalim. Merekapun bersemangat.

pramuka : harapan masa depan

jaman orba adalah masa yang menegangkan sekaligus menjadi hiburan buatku. Setiap keluar rumah untuk malam mingguan pun tak pernah lepas dari pengawasan antek-antek itu. Sungguh perbuatan mereka sepeti orang-orang yang tidak mengenal peradaban. Tapi sialnya, aku menimati, dengan cara diajak main kucing-kucingan, pura nggak ngeliat, trus ngumpet, .......... nakh waktu mereka celengak celinguk, trus aku tegur, ..... biasanya mereka kaget, aku pun senyum-senyum.

Seluruh aktifitas tersebut mendorong dan mengukuhkan pendirian agar tetap komit,. sekalipun tidak punya pemikiran hari esok mau jadi apa, yang jelas memiliki kesempatan untuk menjadi guru dan membina anak-anak juga merupakan suatu kebahagiaan.

Sampai dengan tingkat dua terpaksa harus berhenti karena masalah NKK/BKK, ditambah adanya peristiwa Soreang yang memaksa aku harus Hijrah ke Jakarta. Kemudian ada seorang Bapak yang baik hati (Alm. Prof. Dr. Hadi Prabowo, seorang nasionalis dan dosen religi) yang memberiku bea siswa di Fakultas Hukum. Namun iapun tetep berpesan agar jangan mau terjun di politik praktis. Kemudian jadilan aku Sarjana Hukum. aku pun pada akhirnya mengetahui, bahwa beliau adalah ketua GMNI pertama. sungguh patut aku berterima kasih kepada beliau. dari beliau aku banyak mendapat ajaran penting tentang ke Indonesiaan dabn marhaenisme, sehingga aku sangat cinta negeri ini.

Sewaktu di Jakarta, selain masih tetap membina Pramuka di SD dan SMP Pesing Grogol, juga di kampus aktif di Pustaka Budaya Bangsa dan Lembaga Pers Mahasiswa. Di pers Mahasiswa memiliki dinamika yang tersendiri. sekalipun tidak partisan namun ada keseriusan dari rekan-rekan untuk memperbaiki keadaan negeri ini, seperti sistim pendidikan dan membongkar NKK/BKK. Di lembaga ini masih dipercaya jadi Ketua, padahal diorganisasi ini lebih banyak Kaum Fisip-nya.

Selama jadi mahasiswa fakultas hukum, intrik dan tuduhan tetap datang bertubi-tubi. Bahkan dari sesama aktifis dan sewadah. Dari tuduhan kader komunis sampai dituduh mata-mata, Namun dari situ sangat menyadari bahwa politik praktis kadang harus dilalui dengan menghalalkan segala cara, dan akupun merasa tidak perlu ada diarena ini, kecuali masih tetap aktif di LSM lingkungan dan pemberdayaan, serta aktif melakukan diskusi dengan temen-temen kelompok Cipayung lainnya, bahkan pernah mendirikan Yayasan Pendidikan Islam As Sunnah di Bukittinggi, terutama untuk membuat perpustakaan bagi para da'i.

Setelah kerja di Bank Milik Pemerintah, melanjutkan pasca sarjana dan bisa menyelesaikan di Intitut Pertanian Bogor. Sekarang masih aktif di serikat pekerja. Lumayan agar bisa tetep menjaga komitmen untuk tetap menjaga amanah orang-orang lemah dan yang penting mempertahankan eksistensi perusahaan agar asset negara ini tidak jauh ketangan asing. akan tetapi tuduhan pun tetap ada, dengan alasan : tidak mungkin keluarga PNI bisa hidup senang seperti ini kecuali menggadaikan idealisme, sungguh aku kurang memahami paradigma ini. Namun tuduhan ini tidak membuat aku kapok dan lantas mundur, karena aku masih kerap berdiskusi dengan adik-adik yang berada didalam struktural maupun didalam organisasi nasionalis lainnya.

Saat ini aku tidak merasa dendam terhadap keadaan maupun mereka yang pernah meneror dan memfitnah aku. Bahkan terhadap orang-orang yang memfitnah Bapak. Malahan Bapak sangat dekat dengan anak-anak mereka.Setelah reformasi banyak dari mereka yang menjadi sahabat dan datang untuk bertukar pikiran tentang kondisi saat ini dan organisasinya. aku hanya bisa mengambil pelajaran dari sikap bapak terhadap masa lalunya, sebagai konsekwensi yang harus dilalui.

Banyak pula anak-anak didik yang sekarang jadi tokoh dan pengurus partai, guru, pengusaha atau tentara. Jika hari lebaran di Bandung, mereka datang untuk sekedar bercerita dan bernostalgia.Aku hanya bisa senyum dan bangga atas keberhasilan mereka. Karena aku adalah aku, aku adalah orang yang berpikiran dan berjiwa merdeka, tapi akupun Hamba Allah, yang hina dihadapan-Nya.(***).

Tidak ada komentar: