Rabu, 26 September 2012

Dicari Negarawan

Baru saja usai Pilkada DKI dan banyak kegembiraan yang diekspresikan, namun rupanya ini pun tak akan berlangsung lama. Karena kebiasaan saling mengklaim mulai menyeruak ketimbang mendukung para pemenang, atau memberikan kesempatan untuk menjalankan amanahnya. Namun rupanya demokrasi lima tahun kita sudah masuk tahapan ‘Persiapan Politik’. Karena akhir 2012 seluruh energi dipusatkan untuk saling tawar menawar kekuatan. Biasanya di pertengahan tahun ketiga masa demokrasi lima tahunan ditandai konsolidasi internal, disini siapa sosok yang dijagokan sudah muncul, baru ketika sosok dijagokan sudah muncul maka tahap kedua adalah mempersiapkan infrastruktur dukungan politik, seperti tawaran persekutuan, tawaran dukungan, dan merangkum kekuatan jaringan eksternal Partai.

Kompasiana, 26.09.2012 mengulas, bahwa kemenangan pasangan Joko Widodo (Jokowi) – Basuki Tjahya Purnama (Ahok) dalam Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada ) Daerah Ibu Kota (DKI) Jakarta pada putaran kedua, menimbulkan keretakan diantara dua kubu Partai pengusung, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerindra. Keretakan itu ditandai dengan ucapan politisi senior PDIP, Taufik Kemas Ketua MPR.RI , yang juga Suami Ketua PDIP Megawati Sukarnoputri, yang mengatakan kepada sejumlah wartawan di Gedung DPR MPR bahwa PDIP Kapok Berkualisi dengan Partai Gerindra dengan alasan kemenangan pasangan Jokowi-Ahok ternyata dapat mendongkrak krediblitas Prabowo Subianto selaku pendiri Partai Gerindra, ketimbang dari pada krediblitas Megawati Sukarno Putri selaku Ketua PDIP.

Hal yang sama mendasarkan survai yang dilakukan oleh Syaiful Mujani Researeh Consulting (SMRC) mengatakan kemenangan Pasangan Calon Gubenur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Jokowi – Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta telah menguntungkan Prabowo Subianto disbanding Ketua PDIP Megawati Sukarno Putri. Survai yang dilakukan itu katanya, warga yang memberikan dukungan kepasangan Cagub dan wacagub DKI Jakarta Jokowi-Ahok lebih banyak juga memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto disbanding Megawati Sukarno Putri dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tahun 2014 mendatang. Yang menarik kata SMRC lagi dalam melakukan survainya, hasil dari perolehan suara keseluruhan yang masuk kedalam perolehan suara pasangan Jokowi – Ahok 53,68% dan 25% perolehan suara Jokowi-Ahok memilih Prabowo Subianto, sedangkan yang memilih Megawati Sukarno Putri hanya 15%. Mungkin akibat rendahnya pemilih Megawati Sukarno Putri dari hasil perolehan suara pasangan Jokowi-Ahok, maka wajar jika PDIP, mulai memperlihatkan ketidak senangannya untuk kembali berkoalisi dengan Partai Gerindra. Sementara bagi Partai Gerindra, dengan terlihat mulai ada keretakan dalam koalisi yang dibangun antara Gerindra dengan PDIP pada Pilkada DKI Jakarta, bukan tidak mungkin akan menjadi ancaman bagi Prabowo Subianto untuk melangkah menjadi RI satu, kendatipun hasilnya baru bisa terlihat pada Pemilihan Legeslatif 2014 yang akan datang. Jika Prabowo Subianto maju menjadi calon RI satu tampa hambatan, Perolehan suara Partai Gerindra pada Pemilu Legeslatif April 2014, harus bisa mendapatkan 20% perolehan suara di lembaga legeslatif. Artinya Partai Gerindra harus bisa meraih 112 Kursi di DPR.RI, dari jumlah anggota DPR RI sebanyak 560 kursi. Jika ini terpenuhi maka Prabowo Subianto dapat dicalonkan langsung sebagai kandidat calon Presiden pada tahun 2014 oleh Partai Gerindra. Namun jika gagal Partai gerindra meraih suara sebanyak 20%, maka Partai Gerindra harus berkualisi dengan partai lain untuk mencalonkan Prabowo Subianto menjadi calon RI satu. Disinilah letak dari pada ancaman pencapresan Prabowo Subianto, karena bagaimanapun Partai yang diajak bverkoalisi juga mempunyai calon yang akan ditampilkan menjadi RI satu. Apa lagi Partai yang diajak berkoalisi itu mempunyai suara lebih banyak dari Partai Gerindra.

Bagi kita masyarakat awam, isue politik demikian semakin menjauhkan dan membuktikan bahwa Indonesia saat ini kekuarangan negarawan, namun lahan subur bagi perkembagan para politikus. Mungkin ada baiknya jika disimak paradigma dan sikap Bung Karno dalam bernegara, jika negara membutuhkan maka kepentingan partai atau apapun harus ditanggalkan. Tapi masih adakah para pemimpin kita yang memiliki pikiran demikian ?

Tidak ada komentar: