Manusia sering hidup dengan persepsinya, seperti halnya dengan para ilmuwan yang menemukan teori kemungkinan menjadi mungkin. Coba kita bayangkan jika Thomas Alfa Edison ketika gagal mencari sumber energi listrik lantas dia fristasi dan berhenti, niscaya listrik tak pernah ada, atau lahir jauh-jauh hari setelahnya. Atau kita bayangkan ketika buah apel yang menimpa kepala sesorang, lantas ia hanya marah tak tentu, tidak mencari “mengapa apel jauh kebawah, tidak terbang ketas, niscaya ia tak pernah menemukan hukum gravitasi.
Teori persepsi atau persepsi itu sendiri memang nyaman dipikirkan, diucapkan atau diteorikan. Dengan persepsi adakalanya manusia merasakan kenikmatan yang tak terhingga. Seolah menemukan jawaban atas kebenaran yang diteorikannya, namun ketika persepsi berbuah fitnah maka tak akan ada artinya bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Ketika saya berpikir tentang buah, dibenak saya ada sepotong buah mangga yang manis. Namun ketika saya tanyakan kepada teman saya : “Jika saya mengatakan buah, apa yang ada dibenak anda ?”, niscaya sayapun akan menemukan jawaban yang berbeda. Mungkin mereka akan membayangkan sebiji anggur yang ranum, atau sebiji jeruk yang manis, atau hanya 4 buah huruf saja, yakni BUAH. Inilah kegagalan dan sekaligus kelebihan persepsi.
Persepsi menjadi runyam ketika berbuah fitnah. Seperti seseorang menolong orang lainnya. Mungkin ada diantaranya yang menyebutkan orang itu dermawan, namun ada juga yang menyatakan : pasti ada maunya. Masalahnya haruskah kita selalu bersepsi terhadap tindakan orang yang belum tentu benar persepsinya. Mungkin yang lebih baik adalah berpostif thinking, kita anggap itu adalah kebaikan, karena persepsi bukan fakta, belum tentu pula kebenaran. Apa yang orang lain lakukan adalah kebaikan, kecuali secara fakta mengandung kebusukan. Karena hidup perlu membangun kehidupan ..... kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat, baik bagi diri kita maupun orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar