Manusia menjadi mulya atau hina, senang atau sengsara,
Demikian seluruh kehidupan yang ada dimuka bumi,
namun Tuhan adalah prima causa yang tidak terkena hukum sebab akibat.
Karena Tuhan dapat membuat dan menghendaki apa saja,
maka Tuhan memiliki hukumya sendiri.
Di sore hari di tengah keriuhan kampus sekelompok mahasiswa pengumpul derma berdiskusi masalah banjir, gempa bumi dan tsunami. Seperti biasanya perbincangan melebar, dari masalah realitas sampai masalah idealitas. Diantara mereka ada yang menjustifikasi pendapatnya dengan menyandarkan pada kehendak Tuhan.
Seolah-olah Tuhan penyebab bencana dan malapetaka. Namun ada yang mengaitkan dengan pola kebijakan penguasa, seperti tuduhan salah urus dan ketidak tegasan menindak para perusak lingkungan. Demikian pula ketika kita menerima musibah, tanpa disadari menjustifikasi bahwa Tuhan berbuat dan menjadikan kita menderita, : “semua kehendak Tuhan, manusia tak akan pernah mampu melawan kehendak Tuhan”. Tak jarang pula kita mendakwa Tuhan atas nasib buruk yang kita alami, kitapun meratap : “alangkah tidak adilnya Tuhan melimpahkan kemiskinan dan musibah”, padahal setiap helaan nafas, setiap langkah kaki, setiap detik waktu yang dilalui adalah kenikmatan yang diberikan Tuhan.
Kadang kitapun menyalahkan orang lain penyebab derita kita. “Kalau saya tidak kawin dengan dia, mungkin saya tidak berakibat sesengsara ini”, atau kita meratapi diri sendiri, “tidak ada orang yang menderita seperti saya”. Kita tak pernah sadar ketika datangnya “akibat” berasal dari suatu “sebab”. Mungkin dari sebab itu ada andil kita yang cukup besar sehingga kita memetik suatu “akibat” yang tidak menyenangkan. Keluhan-keluhan itu memberikan andil besar atas keterpurukan kita. Karena setiap hari diri kita, jiwa kita dan ruh kita dilatih mengeluh, maka kitapun tak
Dari sekian keluhan, mungkin ada yang perlu dipermaklumkan, karena ketika keterdesakan menghampiri hidup kita maka keniscayaan penyelamatan atau upaya sekedar penghiburan perlu dilakukan, paling tidak keluhan dapat dijadikan sekedar mengurangi derita.
Kondisi baru tersebut kemudian diuji oleh anti thesa baru, sedangkan synthesa berposisi sebagai thesa, begitulah kehidupan dan nilai-nilai terus berjalan. Lain halnya dengan orang hukum, mereka mempersepsikan suatu kondisi (akibat) dengan cara mengetahui kondisi major dan minornya, kemudian menarik kesimpulan tentang kondisi yang akan datang. Namun dari perbedaan cara memprediksi tersebut tak mungkin dapat lepas dari peta pengetahuan tentang “sebab dan akibat”, karena setiap masalah diniscayakan ada sebabnya maka hidup pun terimbas hukum sebab akibat.
Peta pengetahuan tentang sebab akibat mampu diketahui sejak manusia tahu persoalan hidup. Karena tak ada satu persoalanpun di alam ini yang bisa lepas dari hukum sebab akibat maka semua makhluk terhimbas hukum sebab akibat. Manusia menjadi mulya atau hina, senang atau sengsara, kaya atau miskin semua ada “sebab”. Pengetahuan tentang peta sebab akibat mampu mendorong seseorang untuk bertindak hati-hati dan fokus pada tujuan dalam bentuk akibat. Seseorang yang mengusahakan kekayaan ia akan berusaha untuk kaya ; seseorang yang menginginkan kepintaran ia berusaha untuk belajar. Namun kesepakatan para filsuf, teolog dan ilmuwan, bahkan sejak jaman Plato dan Aristoteles yang meyakini eksistensi Tuhan, menganggap hanya Tuhan yang tidak terkena hukum sebab akibat, karena Tuhan adalahprima causa, merupakan awal dan akhir, Tuhan dapat membuat dan menghendaki apa saja maka Tuhan memiliki hukumnya sendiri.
Sejatinya kausalitas terkait erat dengan prinsip-prinsipnya, yakni : (1) Prinsip kausalitas meniscayakan setiap kondisi (akibat) mempunyai “sebab”. Misalnya, sesuatu benda pasti ada yang membuatnya ; setiap yang bergerak pasti ada penggeraknya. Pergerakan dalam kehidupan adalah akibat, sedangkan sebabnya adalah penggeraknya.
(2) Hukum keniscayaan menjelaskan bahwa “akibat” tidak mungkin terpisah dari “sebab”. Setiap akibat diniscayakan memiliki “sebab” ; setiap “sebab” diniscayakan memiliki “akibat”. Misalnya, jika orang tidak makan diniscayakan lapar ; jika orang lapar pasti belum makan.
(3) Hukum keselarasan antara “sebab akibat” meniscayakan setiap himpunan alam yang secara esensial selaras mesti pula selaras dengan “sebab” dan “akibat”. Itulah kausalitas yang digunakan ilmu pengetahuan, prinsipnya menjelaskan keselarasan suatu kondisi yang tergantung dari sebab-sebabnya, namun ketika keniscayaan tak memiliki keselerasan, maka perlu diteliti kesalahan cara mengkorelasikannya, atau dimungkinkan pula ada eksistensi faktor X yang belum terjangkau pemikiran manusia.
Saat ini para teolog tak lagi mempermasalahkan kausalitas, jika masih terjadi perdebatan itupun bukan pada masalah hukumnya, melainkan pada siapa penyebab terjadi nya peristiwa. Demikian pula pada masalah-masalah yang terkait dengan aras takdir (destiny), perselisihan pendapat mulai muncul ketika mempersoalkan tentang “pasca Tuhan menciptakan alam semesta”, siapa yang menimbulkan sebab ?, Tuhankah ? atau manusia sendiri ?.
Ketika manusia dihadapkan pada suatu bencana, timbul beberapa persepsi tentang hadirnya bencana.
Beberapa Aliran
Adanya perbedaan pemikiran tidak berhenti pada sekedar wacana, bahkan didalam sejarah diikuti dengan cara saling mengkafirkan ; masing-masing saling memaksakan kebenarannya ; dan menggunakan kekuatan untuk saling melenyapkan.
Menurut aliran pertama, setelah menciptakan semesta alam Tuhan tidak ikut campur dalam proses alam selanjutnya. Seluruh peristiwa terjadi menurut hukumnya sendiri, atau akibat yang dilakukan penghuninya, baik manusia atau hewan. Konsep ini melahirkan pandangan, bahwa : manusia memiliki kebebasan mutlak, untuk melakukan apa saja tanpa ada intervensi Tuhan ; manusia melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri ; manusia melakukan atau menjauhi perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya ; manusia merdeka bertingkah laku, tidak ada campur tangan Tuhan (free will dan free act). Manusia berbuat patuh atau tidak patuh atas kehendak sendiri.
Tapi merekapun mengakui, bahwa Tuhan menciptakan daya untuk mewujudkan kehendak di dalam diri setiap manusia, daya tersebut diciptakan sebelum ada perbuatan. Sedangkan perbuatan tidak diciptakan Tuhan tetapi kreatifitas manusia. Dari aras ini ditarik kesimpulan, bahwa manusia adalah makhluk yang bisa memilih dan menentukan kebebasan hidup, termasuk nasib yang dialami. Dalam teologi Islam untuk menyebut aliran kehendak bebas adalahikhtiyar. Sedangkan para pengikutnya disebut qadariyah.
Pendapat ketiga, beranggapan bahwa peristiwa pasca penciptaan alam, Tuhan tidak sepenuhnya melakukan intervensi kedalam kehidupan manusia, namun juga tidak sepenuhnya mengendalikan kehidupan manusia. Dalam batas dan kondisi tertentu Tuhan mengintervensi proses alamiah, berarti juga campur tangan terhadap kebebasan manusia.
Dalam konteks ini manusia tidak sepenuhnya dapat merealisasikan kehendaknya, namun ia tidak pula dikekang. Kekebasan manusia dikombinasikan dengan kehendak Tuhan. Dalam paradigma ini, fenomena alam dipersepsikan secara moderat pada dua kemungkinan, berupa perbuatan manusia atau kreatifitas (takdir) Tuhan. Dalam teologi islam dikatagorikan pada teologiAsy-ariyah. Pola dari pemikiran paham ini kemudian berkembang. Misalnya muncul pendapat dari al-Baqillani , bahwa : manusia mempunyai sumbangan yang efektif bagi perbuatannya, kemudian yang diwujudkan Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia sendiri. Dengan kata lain gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan sebagainya. Jenis-jenis gerakan tersebut diciptakan Tuhan. Tetapi berbuat duduk, berdiri dan berbaring adalah keinginan manusia.
Kehendak Bebas
Saat ini yang berpikiran bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan takdir dipahami sebagai pemikiran yang logis dan rational, sedangkan rationalitas dianggap yang paling benar. Pemikiran seperti diatas sudah sedemikian menyeruak dan makin meluas. Dapat dipahami, karena hanya mengandalkan logika maka merekapun mengambil aras rational.
Penggunaan ratio bukan sesuatu yang perlu dihindari, namun juga perlu dipahami, ketika manusia menggunakan eksistensi akal maka perlu juga menghadirkan “rasa”, tanpa rasa keimanan hanya sekedar percaya yang tergantung pada apa yang dilihat, dirasakan dan ditafsirkan menurut akal. Padahal manusia memiliki keterbatasan dalam menggunakan akalnya. Sungguhpun demikian, teks wahyu seperti al-Qur’an menekankan adanya keseimbangan terhadap tanggung jawab manusia : karena Tuhan tidak akan mengubah nasib – keadaan mereka kecuali mereka berupaya untuk mengubahnya sendiri.
Menurut Imam Hasan, Putra Ali bin Abi Thalib, menurutnya :”Allah tidak bertanggung jawab atas perbuatan manusia, Allah tidak memaksa manusia untuk berbuat sesuatu ; jika Allah memaksakan kehendak-Nya pada manusia, maka pahala dan dosa tidaklah berlaku”. Ali bin Abi Thalib pun penganut faham kehendak bebas, namun ia lebih bijak dan seimbang dalam menyikapi setiap pertanyaan. Ketika ditanya, apakah manusia memiliki kehendak bebas atau tidak ?. Ali lantas meminta orang itu mengangkat sebelah kakinya, kemudian memerintahkan pula untuk mengangkat kedua kakinya. Tentu saja orang itu tidak bisa melakukannya. Kemudian Ali menjelaskan, bahwa : “manusia sebenarnya memiliki kebebasan sampai batas tertentu sekaligus ketergantungan terhadap kekuatan diluar dirinya”. Walahuallam. !!!!
Artikel terkait : (1) FITRAH DAN SEBAB AKIBAT
(2) KEHENDAK BEBAS & TANGGUNG JAWAB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar