Senin, 13 Oktober 2008

Jakat dan Pidana


Sepintas tulisan ini nggak ada relefansinya kecuali hanya nyanyian masa depan dan senandung menyambut kerusuhan, bagaimana cara kita memuaskan perasan kita dengan bentuk kepedulian.

Nyanyian indah ketika reformasi mulai bergulir, para syuhada dan patriot tampil kedepan, teriak tentang demokratisasi, terntang perubahan, dan tentang reformasi, semua disambut dengan suka cita. Masa itu hanya sekejap karena para pemain uang, yang nggak pernah kalah dijaman rejim manapun mulai teriak kehabisan uangnya.

Dia sudah membantu sogok sana dan sini untuk mengganti siapa saya yang nggak di sukai, termasuk konconya yang dianggap nggak bakal prospektif untuk ditunggangi. Mulai lah banyak yang teriak lapar, semua teriakan itu di publikasikan dimana-mana, masa semi demokrasi telah lewat, tinggal hanya bagaimana para homo economicus mampu survival. sementara dibenak rakyat jadi percuma : "kalo begini nggak reformasi ya... reformasi bagi poitikus dan ekonomicus tapi bagi rakyat malah repot nasi".

Teriakan berubah sedu-sedan, kelaparan dimana-mana, semua teriak ...... menembus langit . menerjang badai, hingga meluluh lantakan harga diri bangsa, terutama ketika tetangga kita yang semula ramah tiba-tiba berubah jadi sekejam ibu tiri. Maka merahlah telinga bapak-bapak kita, maka terbakarlah hati oleh hinaan kaum yang lapar, maka tipisilah telinganya dan dirumuskanlah penyelesaiannya.

Lalu, mucul BLT Rp.30 ribu, tapi itupun berubah kekisruhan hingga perlu bantuan masyarakat lainnya, terutama para pembayar zakat yang sadar.... Pada suatu hari ... eeeeeeee ....... Wak Haji dikampung ku membagikan Zakat, tidak terasa begitu banyak penduduk yang datang berjubal lantas berebut, dari semula berebut zakat jadi meregang nyawa. maka jatuhlah korban ........... Wak Haji yang tadinya ikhlas membagi rizkinya kini harus berhadapan dengan hukum, ia harus mempertanggung jawabkanb meninggalnya orang-orang yang akan ia bagikan zakat, dengan alasan tidak lapor Polisi .............. Ya Allah, logika apa lagi yang sedang mereka gunakan. Seharusnya para pelindung rakyat yang telah digaji rayat itu melindungi tanpa perlu dimintai tolong atau ada laporan. Karena laporan itu nggak ada yang gratis, pasti harus bayar.

Konon kabar kefakiran mendekatkan orang pada kekufuran, tentunya tidak perlu berpangku tangan, para umaroh harus sadar bantuan rakyat untuk rakyat itu perlu ia bantu, bukan di palakin ..... begitu juga kaum ulama, harus berani ngomomg sama kaum umaro nya masalah kemiskinan ini. Bukan teriak-teriak yang lain, apalagi hanya berbau politis.

Sungguh sesuatu hal yang ironis, bila dikota ini kita sering baca "bayarlah zakat anda", atau "tidak perlu lagi ada tetangga anda yang kelaparan. Sementara disisi lain para pemberi sidqah di DKI bisa dijerat Perda, atau seperti Uwak saya harus berhadapan dengan ancama Pidana.

Selamat berpuasa.

Bulan Puasa, 2008

Tidak ada komentar: