Jumat, 19 Juni 2009

Debat Capres





Debat Calon Presiden menjelas Pilpres 2009 paling di tunggu-tunggu banyak orang, apalagi sebelumnya sudah mulai saling menyindir sikap dan programnya, seolah-olah debat capres itu akan menjadikan klimaks dari perseteruan tiga individu penarik gerbong besar di republik ini.

Debat capres kali ini diasumsikan akan memuaskan hati pemirsa karena mempertontonkan drama besar perpolitikan Indonesia. Mungkin tanpa disadari ada keinginan dan semangat kita seperti semangat yang sama dimiliki orang romawi dimasa lalu, ketika melihat pertunjukan Gladiator yang harus saling membunuh.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu, lima pemancara televisi menyajikan acara ini, tepat jam 7 malam acara pun dimulai. Anis Baswedan dan Helmi Yahya membawakan acara itu dengan tertib, rapih dan contents nya mudah dipahami oleh siapapun, kita pun tidak perlu berpikir keras untuk menafsitrkan kata-kata yang dilontarkan masing-masing Capres.

Harapan untuk mendapatkan suguhan tontotan seru, seram dan menegangkan ibarat menggantang asap. Banyak para pemerhati yang menyayangkan acara debat tersebut. Saya mendengarkan beberapa komentar dari Studio Radio tentang kekecewaan pirsawan, bahkan hingga tadi pagi masih ada. Banyak pula pendapat dan perspektif. Dari perspektif, budaya, bisnis pers sampai dengan perspektif konfrontatif, yang menganggap baik jika dipentas itu ada benturan dan saling menyerang antar sesama capres.

Komentar-komentar kekecawaan kemudian ibarat rudal diatas Palestina yang tidak terkendali. Umumnya menginginkan seperti debat Capres di Amerika. Koran pagi terkemuka menulis head line “Debat tanpa perdebatan”. Hebatnya lagi, salah seorang pemerhati (dosen) dari salah satu Kampus mengidamkan debat tersebut menjadi riuh rendah. Seolah-olah ukuran kehidupan manusia Indonesia hanyalah Amerika, ya memang kita sudah “american fever”.

Atas nama demokrasi, seolah-olah Indonesia harus mengambil benchmark ala Amerika. Masa lalu terjebak di dalam arus paradigma ekonomi dan politik globalnya, sekarang budayanya juga demikian.

Indonesia mungkin sama dengan kondisi di Pilipina sebelum terjadinya gerakan People Power dulu.konon menurut orang sana : “Jika anda mendengar degup orang Pilipina niscaya anda akan mendengar suara Amerika yang lebih dari Amerika”. Lupa jika mereka adalah entitas dan bangsa yang mandiri yang memiliki jati diri. Padahal alasan itu dahulu menguatkan mereka untuk membebaskan diri dari Spanyol.

Belum luput dari ingatan kita tentang kegagalan sistim ekonomi di Amerika yang menganut paham Kapitalisme Anglo Saxon, masih belum kapok juga untuk bermadzhab kesana, termasuk budaya politiknya. Mungkin tidak terasa, tapi itulah kenyataannya, semua serba Amerika, termasuk budaya demokrasi harus bermerk Amerika, bahkan Demokrasi hanya dipahami sebagai kebebasan (liberalism), kurang memperhatikan unsur lainnya, yakni Partnership dan Egaliterism, sebagai sandaran penting terciptanya Demokrasi yang sehat.

Indonesia adalah Indonesia yang memiliki Jati Diri Bangsa yang mandiri. Tidak perlu merasa malu jika tidak seperti Amerika. Karena sebagai entitas bangsa yang merdeka, rakyat Indonesia memiliki budaya sendiri. Indonesia tidak perlu menginginkan para capresnya untuk saling menyerang dan menyakiti perasaan diatas pentas, yang akan menurunkan dosa-dosa yang terstruktur kepada generasi berikutnya. Senyatanya, perdebatan yang baik bukan karena riuhnya pertengkaran diatas pentas, tetapi apa yang mereka perdebatkan menjadi tuntutan dan keyakinan akan munculnya perbaikan bagi kehidupan para ‘Voter’ nya dimasa depan.

Yang lebih penting lagi dalam ‘memilih’ capresnya nanti adalah : siapa saja yang mampu membawa bangsa ini menjadi mandiri di bidang Ekonomi ; berdaulat dibidang politik ; dan berkepribadian di bidang budayanya. Untuk itu, Program Pro Rakyat harus Dilanjutkan Lebih Cepat Lebih Baik.

Tidak ada komentar: