Senin, 04 Juni 2012

Tentang Konflik

Dalam interaksi sosial manusia, suatu hubungan selain dapat menciptakan kerjasama dan saling ketergantungan juga dapat melahirkan konflik, terutama jika masing–masing individu atau kelompok memiliki kepentingan atau tujuan yang berbeda-beda, tidak ada titik temu dan tidak bekerja sama. Hal yang sama sering dialami diorganisasi, semacam Serikat Pekerja. Keberadaan konflik ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika menyadari ada konflik maka dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mempersepsikan di dalam organisasi telah ada konflik maka menjadi kenyataan.

Sedikitnya ada tiga pandangan tentang konflik. Robbin (1996) menyebutnya sebagai The Conflict Paradoks. Pertama, Pandangan Tradisional (The Traditional View), menganggap konflik adalah hal yang buruk, negatif, merugikan, harus dihindari. Konflik disamakan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality, akibat disfungsional komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, tidak ada transparansi, dan kegagalaan pemimpin untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi anggota.

Kedua, Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relation View). Konflik dianggap peristiwa yang wajar di dalam kelompok atau organisasi, tidak dapat dihindari, karena didalam kelompok atau organisasi pasti ada perbedaan pandangan atau pendapat. Oleh karena itu, konflik harus didorong untuk meningkatkan kinerja organisasi, dijadikan motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan.

Ketiga, Pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini menganggap, bahwa suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu suatu organisasi atau kelompok perlu mempertahankan konflik pada tingkat minimum yang berkelanjutan, sehingga dapat memacu para anggota agar semangat, kritis, dan kreatif.

Apa itu Konflik ?
Konflik berasal dari kata kerja (Latin) Configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis diartikan sebagai proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok), salah satu pihak berusaha untuk mendominasi atau menyingkirkan pihak lain dengan membuatnya tidak berdaya.

Nardjana (1994) menyebut Konflik akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Daniel Webster, mendefinisikan konflik sebagai (1) Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain. (2) Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).

Konflik didalam ruang lingkup organisasi menurut Killman dan Thomas (1978), adalah kondisi ketidak cocokan, antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang maupun hubungannya dengan orang lain. Kondisi tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya produktivitas kerja. Sedangkan menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) : Conflict is a situation whichtwo or more people disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism with one another - situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.

Wijono (1993) menyebutkan tiga jenis konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:

1. Approach-approach conflict. Adanya dorongan untuk melakukan pendekat an positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.

2. Approach-Avoidance Conflict. Adanya dorongan untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuan dan pada waktu yang sama serta mengandung nilai positif atau negatif bagi para pihak.

3. Avoidance-Avoidance Conflict. Adanya dorongan untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.

Dari ketiga diatas, tentunya approach-approach conflict termasuk konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.

Konflik bertentangan dengan integrasi, namun keduanya berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

 
Didalam ilmu sosial

Teori Konflik didalam ilmu sosial menitik beratkan pada ketidaksamaan Sosial Politik, atau dari sebuah kelompok Sosial dan meninjau atau mengupas, serta memperhatikan adanya perbedaan kekuasaan, seperti didalam konflik antar klas atau golongan. Teori Konflik secara garis besar terdiri dari (1) Teori Konflik Primordialisme (Cliford Gerrtz) ; (2) Pertentangan Kelas (Karl Marx) ; serta (3) Client Patron (James Scot). Client Patron yang dimaksud adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat menyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan, instrumental, dimana seorang individu dengan status sosial ekonominya lebih tinggi (disebut Patron), menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnya lebih rendah atau Client.

Teori Konflik berdasarkan pemahaman lainnya dipengaruhi oleh para pemikir, seperti Karl Marx (1818-1883); Marx Weber (1864-1920); Emile Durkheim (1879-1912) dan George Simmel (1848-1919), bahkan Ibnu Khaldun pernah menjelaskan tentang masalah konflik vertikal dan horizontal. Teori konflik merupakan antitesa dari teori Struktur Fungsional yang mengedepankan keteraturan (keseimbangan) dalam masyarakat, namun didalam struktur sosial manapun tidak ada yang luput dari konflik dan ketegangan. Oleh karenanya pada tahun 1950-an dan 1960-an muncul para penganut teori Konflik Modern, yang banyak mengikuti kerja intelektual Karl Marx dan Marx Weber. Tokoh tokoh tersebut, antara lain : Lewis Coser (1913-2003) ; Ralf Dahrenhoff (1929-2009) ; CW. Mills (1916-1962).

Karl Marx mengajukan determinasi ekonomi, menguraikan tentang masyarakat kelas dan perjuangan kelas. Ada dua golongan Sosial di masyarakat, yakni Kaum Borjuis (Pemilik Pabrik atau alat-alat produksi), yang disebutnya penindas, dan Kaum Proletariat (Pekerja) yang disebutnya tertindas. Konflik tidak dipengaruhi oleh moral maupun suasana hati keduanya, melainkan sistim Kapitalisme yang menyebabkannya demikian. Marx meramalkan bahwa ketegangan hubungan antara kedua kaum mendorong terbentuknya konflik sosial (revolusi). Hal ini akan terjadi jika kaum tertindas menyadari di eksploitasi.

Marx Weber mengadaptasi teori Marx (namun ada juga yang menyebutkan menolak teori Marx) dan menambahkan peran Status Sosial dan Kekuasaan Politik. Ekonomi bukan satu-satunya penyebab konflik. Marx Weber mencontohkan masalah Status Sosial, seperti seseorang yang miskin bisa saja memiliki banyak kekuasaan karena status sosial yang dimilikinya, seperti Bunda Theresia dan Mahatma Gandhi. Sedangkan didalam Kekuasaan Politik dicontohkan, seorang Politisi memiliki banyak kekuasaan, tetapi tidak menghasilkan banyak uang. Inilah alasan bahwa Konflik muncul terutama dalam wilayah politik dan sosial (bukan hanya ekonomi).

Charles Wright Mills melihat konflik dari adanya dominasi. Hubungan dominatif meng gambarkan stuktur sosial dikuasi sekelompok elit, yakni militer, politisi, dan pengusaha. Mills menemukan bahwa para elit kekuasaan mempunyai kencederungan untuk kaya, baik diperoleh melalui investasi atau duduk dalam posisi eksekutif. Para elit sering kali pindah dari satu bidang yang posisinya tinggi dalam bidang yang lain. Mills mencontohkan Jenderal Eisenhower yang kemudian menjadi Presiden Eisenhower, atau seorang laksamana yang juga seorang bankir, seorang direktur, dan menjadi pimpinan perusahaan ekonomi terkemuka. Elit-elit kekuasaan mempunyai minat yang besar untuk menjaga posisi dan mengembangkan kekuasaannya. Secara politis membutuhkan dukungan orang banyak. Hal ini digunakan pula media massa, yang mempunyai peran strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional, melalui proses komunikasi informasi satu arah. Proses itu merupakan bagian dari indoktrinisasi dan persuasi. Masyarakat hanya bersifat pasif sebagai penerima informasi yang sebenarnya sudah direkayasa.

Determinasi konflik lainnya diuraikan oleh Ralf Dahrendorf. Masyarakat memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. Adanya pertentangan dapat menjadi sumber perubahan sosial. Secara empiris, pertentangan kelompok paling mudah di analisis, dilihat dari pertentangan ligitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai-nilai dan ideologi keabsahan kekuasan, sementara kepentingan kelompok bawah, serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung dibawahnya melahir- kan ancaman bagi mereka yang berkuasa.

Mengapa terjadi Konflik
Serikat Pekerja BNI sebagai organisasi yang banyak terlibat didalam masalah kebijakan intern organisasi maupun perusahaan, terutama yang terkait dengan perlindungan hak dan kesejahteraan anggota, kerap bersentuhan dengan masalah konflik, seperti ketika menentukan kepengurusan; komunikasi organisasi; perundingan mengenai perjanjian kerja bersama; aturan fasilitas pinjaman pegawai; asuransi kesehatan; serta masalah penerima mesop, yang dikaitkan dengan keanggotaan serikat pekerja dan kompensasi bagi manajer kebawah. Inilah masalah konflik yang menuntut kerja kreatif, kritis dan sekaligus inovatif.

Wallace dan Wolf (1986) menyebutkan tiga alasan terjadinya konflik. Pertama, masalah kepentingan. Setiap orang atau organisasi mempunyai kepentingan yang ingin dicapai, sementara pihak lain tidak setuju dengan cara-cara atau keinginan dimaksud. Hakekat konflik disini diciptakan oleh keinginan-keinginan dalam meraih kepentingan.

Kedua, masalah Kekuasaan. Hal ini tidak hanya terjadi karena kelangkaan dan ketidak merataan pembagian kekuasaan, namun merupakan sumber konflik ketika digunakan sebagai alat pemaksaan kehendak, sebagaimana ketika masa orba.

Ketiga, masalah nilai-nilai. Seringkali nilai dan ide-ide digunakan sebagai senjata oleh pihak-pihak yang berbeda untuk mempermudah tujuan, dari pada sebagai cara-cara pendefinisian satu identitas kelompok keseluruhan dan tujuannya. Misalnya, ketika nilai-nilai kebersama an dianggap sebagai penolakan dan anti terhadap orang luar. Padahal yang menjadi pokok masalah adalah pola rekrutmen yang seharusnya dilakukan secara adil, transfaran dan semua diberikan kesempatan yang sama. Nilai kebersamaan paling kondusif ketika didalam suatu organisasi memerlukan trust building dan soliditas team. Pendefinisian ini mempe- rmudah tercapainya tujuan organisasi.

Sebab-sebab terjadinya konflik, mungkin akan lebih banyak lagi jika diuraikan berdasarkan perbedaan-perbedaan, seperti (1) Perbedaan individu; (2) Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda (3) Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. (4) Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Namun konflik pada suatu titik tertentu akan mampu mencapai kesepakatan bersama, karena didalam konflik, selalu ada kesempatan untuk melakukan negosiasi-negosiasi, sehingga dapat menciptakan konsensus.



DAMPAK DAN MANFAAT KONFLIK

Pada awal tulisan diatas disebutkan pandangan-pandangan tentang konflik Masing-masing pandangan memperhitungkan dampak dan manfaat dari setiap konflik, sehingga akhirnya disimpulkan, apakah konflik tersebut bermanfaat atau tidak. Konflik akan bermanfaat atau mudarat sangat tergantung dari bagaimana cara konflik itu dikelola, bahkan ketika menghindari suatu konflik maka konflik tersebut menjadi berkepanjangan.


Konflik secara garis besar akan (1) meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup); (2) menguatnya identitas yang bertikai (3) menyebabkan keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai; (4) perubahan kepribadian individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga atau malah saling memahami; (5) kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia (6) dominasi bahkan kekalahan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Dampak diatas bukan satu-satunya kondisi yang baku. Para pakar teori konflik organisasi mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat menghasilkan respon dalam dua dimensi. Skema ini akan menghasilkan hipotesa: (1) adanya pengertian yang tinggi dari kedua belah pihak dan mengupayakan untuk mencari solusi yang terbaik. (2) Pengertian yang tinggi bagi salah satu pihak untuk memenangkan konflik. (3) Pengertian yang tinggi kepada pihak lain untuk memberikan kemenangan tersebut. (4) Tanpa pengertian dari kedua belah pihak maka akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.

Manfaat Konflik
Lewis coser (1913-2003) menyebutkan beberapa manfaat dari terjadinya konflik. Pertama, Konflik diniscayakan ada dalam masyarakat, sampai akhir kehidupan manusia dan tidak mungkin dihindari. Karena struktur sosial adalah gejala yang mencakup pelbagai proses penggabungan, maupun perpecahan. Dalam hal ini konflik dapat dimanfaatkan untuk melakukan perubahan.

Kedua, Konflik akan menghasilkan perubahan, dan merupakan proses penyatu an dan pemeliharaan struktur sosial. Dalam hal ini, ada pihak yang setuju atau menolak dalam suatu Konflik. Konteks inilah yang kemudian menjadi triger lahirnya inovasi-inovasi.

Ketiga, Konflik dapat meneguhkan batas dan identitas antara pihak yang ber-konflik, serta melindunginya agar nilai-nilainya tidak luntur. Dalam hal ini kon flik dapat dimanfaatkan untuk memupuk soliditas.

Tahap Perkembangan Konflik :
Tahap perkembangan konflik menurut Wijono (1993) secara berturut adalah (1) Hidden Problem (laten); (2) Antecedent condition (3) Perceived conflicts, dan felt conflict (4) Manifest behavior.




Jika diselesaikan secara efektif dengan strategi yang tepat maka dapat berdampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya jika buruk, maka berdampak negatif terhadap kedua belah pihak dan mempengaruhi produkivitas kerja.

Strategi Mengatasi Konflik
Stevenin (2000) mengemukakan langkah-langkah mendasar dalam menyelesai kan konflik, yakni :

1) Identifisir adanya kesenjangan antara realitas dengan kondisi seharusnya (ideal) yang menyebabkan konflik. Kesalahan mengidentifisir berakibat salah mengambil solusi. Hal ini berlaku juga jika tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada.

2) Hasil identifikasi, terutama yang menyangkut mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana konflik tersebut ada, harus dijadikan perhatian utama dan bukan pada hal-hal lainnya, seperti isue-isue yang muncul dikemudian. Sehingga akan lebih fokus menyelesaikannya.

3) Upayakan ada kesepakatan bersama suatu solusi oleh para pihak yang terlibat dalam konflik, serta pilih alternatif penyelesaian yang praktis dan yang terbaik.

4) Dalam pelaksanaannya, perlu dipahami bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Namun jangan biarkan pertimbangan ini mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.

5) Evaluasi Penyelesaiannya sehingga tidak menimbulkan masalah baru. Jika penyelesaiannya tampaknya tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan coba dengan cara memperbaharui kesepakatan.

Parker Follet Maria (1926/1940) menemukan pengelolan konflik oleh individu dengan menggunakan cara dominasi; kompromi; dan integrasi. Cara lainnya yang digunakan oleh organisasi, yakni Penghindaran dan penindasan. Sedang kan Blake dan Mouton (1964) menyajikan skema konseptual untuk mengklasifi kasikan cara penanganan konflik antar pribadi menjadi lima jenis, yakni memaksa, menarik diri, merapikan, kompromi, dan pemecahan masalah.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, para peneliti mulai memperhitungkan keinginan para pihak yang terlibat. Untuk kemudian Thomas (1976) dan Pruitt (1983) mengajukan model yang terdiri dari kombinasi ketegasan dan kerjasama para pihak dalam menyikap suatu konflik. Pruitt menyebutkan gaya ini akan menghasilkan rendahnya tingkat konfrontasi dan tingginya semangat kerjasama jika pemecahan masalah banyak dipilih. Pruitt berpendapat bahwa pemecahan masalah adalah metode yang disukai ketika mencari pilihan yang saling menguntungkan.

Beberapa pakar teori konflik banyak yang berpendapat bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat menghasilkan respon terhadap konflik berdasarkan dua dimensi, yakni adanya pengertian terhadap hasil dan tujuan serta pengertian terhadap hasil tujuan pihak lain. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai pada gambardibawah ini.


Hal yang tidak boleh dilakukan pada saat konflik

Stevenin (1993) memaparkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan ketika sedang berlangsungnya konflik, karena akan sangat merugikan, yakni :


1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan. Hal ini hanya akan menambah dan menciptakan konflik yang baru.


2. Jangan menjauhi konflik yang sedang berlangsung dan ikuti terus dinamika nya. Dinamika dan hasil konflik akan lebih baik diselesaikan dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.


3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang sedang berlangsung. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting yang sedang dihadapi. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.


 

Tidak ada komentar: