Senin, 04 Juni 2012

12 Kode Etik dari Meneg BUMN

Dalam salinan Permen yang dimuat di situs resmi Kementerian BUMN, Menteri BUMN Dahlan Iskan mengeluarkan 12 larangan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-04/MBU/2012 tentang Kode Etika Aparatur Kementerian Badan Usaha Milik Negara tertanggal 9 April 2012. Salah satu isi larangan adalah membeli saham perdana BUMN dalam program IPO. Larangan tersebut sebagai kode etik, bertujuan meningkatkan disiplin pegawai, menjamin tata tertib, menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas kementerian, menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan menjaga iklim kerja yang kondusif, serta menciptakan dan memelihara kondisi kerja serta perilaku yang profesional.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-04/MBU/2012 tentang Kode Etika Aparatur Kementerian Badan Usaha Milik Negara tertanggal 9 April 2012. Sebanyak 12 larangan yang harus ditaati segenap pegawai BUMN, antara lain: Bersikap diskriminatif dalam bertugas; Menjadi pengurus dan anggota partai politik; Ikut serta dan keikutsertaan sebagai pelaksana atau menghadiri kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden dan pemilihan kepala daerah atau anggota legislatif; Menyalahgunakan kewenangan jabatan; Menyalahgunakan data atau informasi kementerian; Menghilangkan aset negara, dokumen milik negara / kementerian; Menyalahgunakan aset dan dokumen milik negara / kementerian; Menggunakan fasilitas kementerian untuk selain kepentingan kementerian; Menerima dan memberi suap; Membeli saham perdana BUMN dalam program IPO; Melakukan bisnis apapun juga dengan BUMN.

Tanpa mengesampingkan butir perbutir dari ke 12 butir tersebut, ada tiga hal penting yang harus mendapat perhatian, yakni larangan untuk tidak bertindak diskriminatif dalam bekerja; keterlibatan dalam partai politik; serta masalah pembelian saham perdana BUMN.

Diskriminasi dalam bekerja seharusnya sudah tidak ada lagi didalam suatu tatanan bisnis maupun sosial yang demokratis. Masalah ini biasanya dipicu oleh trust dan nepotisme. Didalam aktifitas Serikat Pekerja sangat nampak ketika seseorang aktifis harus dikucilkan dan dieleminasi dari hak-haknya yang harusnya ia terima, sama dengan yang diterima pekerja lainnya. Seperti, ketika perusahaan menetapkan, bahwa yang berhak menerima ‘suatu’ remunerasi atau fasilitas adalah mereka yang bukan anggota serikat pekerja. Perlakuan ini biasanya dibungkus dalam suatu tawaran yang bersifat sukarela, jika anda mau mengambil tawaran ini silahkan, tidak pun silahkan. Namun senyatanya, hal ini sudah termasuk katagori diskriminasi dan mengiming-imingi untuk tidak menjadi anggota serikat pekerja. Masalah diskriminasi dalam bekerja sangat jelas sudah ada undang-undangnya, bahkan bukan hanya sekedar masalah gender, melaikan perlakuan lainnya yang menyangkut hak-hak ekonomi dan berserikat.

Kedua, tentang keanggotaan dalam suatu partai politik. Masalah ini semacam ada kontra produktif terhadap kebebasan berserikat. Akan tetapi dikementrian BUMN dan perusahaan-perusahaan BUMN yang notabene milik segenap bangsa, dan warga bangsanya terdiri dari berbagai macam aliran politik, maka sangat wajar jika segenap civitasnya bersikap netral (tidak aktif berpartai, sekalipun terhadap partai pemerintah), tanpa harus menghilangkan hak-hak politiknya, sebagaiamana pada masa orde baru yang harus berloyalitas ‘tunggal’, seperti ketika melakuan pencoblosan pada waktu pemilu atau pilpres. Hal ini bisa dibayangkan kerepotan BUMN jika mereka aktif didalam suatu partai politik, atau menjadi simpatisan yang resmi ?. bukan saja menimbulkan ketidak kompakan dengan rekan sejawat yang memiliki aliran politik lainnya, namun juga menyebabkan diskrimintif dan mempengaruhi eksistensi bisnisnya.

Ketiga masalah kepemilikan saham perdana BUMN. Hal ini kejelian dari meneg untuk melihat adanya praktek-praktek yang merugikan masyarakat, khususnya para peminat saham perusahaan BUMN, karena saham perdana akan lebih murah. Pelanggaran kode etik ini dalam segala bentuk ucapan, tulisan, atau perbuatan aparatur yang bersumber dari pengaduan tertulis baik internal maupun eksternal dan temuan atasan.

Kode etik ini seharusnya mampu melahirkan kesadaran baru bagi setiap anggota serikat pekerja di BUMN, untuk mengawal asset-asset negara yang dititipkan kepadanya agar melahirkan kesejahteraan umum. Sekalipun masih perlu ada kesungguhan dari para pejabat yang diberi wewenang untuk menetapkan sanksi apabila terjadi pelanggaran kode etik ini.

 
 

Tidak ada komentar: