Minggu, 30 September 2012

Keadaan dan Kesadaran

Konsep Hubungan industrial (HI) hasil ratifikasi dari Konvensi ILO No.87 dicanangkan untuk dapat menciptakan sistem hubung an yang sehat dinamis dan berkeadilan, antara para pelaku pro ses produksi barang dan/atau jasa, yakni pengusaha, peker ja/serikat pekerja, dan pemerintah. Regulasi tersebut mengatur pula fungsi masing-masing pihak yang harus dijalankan di setiap perusahaan di Indonesia, tanpa pengecualian, bertujuan meningkatkan produktifitas perusahaan dan kesejahteraan semua pihak.

Suatu hal yang patut disadari, di perusahaan-perusahaan milik negara (pemilik saham merah putih) memang sangat memerlu kan adanya kesadaran lebih (baca : loyalitas), karena di dalam kiprah usahanya ada amanah negara yang bertujuan mencapai kesejahteraan umum, bukan sekedar mendikotomi kepentingan masing-masing atau hanya peduli terhadap kelompok dan individu. Oleh karenanya sudah sepatutnyalah paradigma ini dimiliki para pemangku kepentingan.

Jika mengaitkan judul tulisan dengan konsep ideal dari HI, sa ngat jelas bahwa ‘kesadaran’ para pihak untuk melaksanakan (trust) terhadap fungsinya dapat membentuk ‘keadaan’ hubung an yang sehat, dinamis dan berkeadilan, bertujuan membentuk ‘keadaan’ produktifitas dan kesejahteraan, sehingga HI benar-benar muncul dari kesadaran (bukan terpaksa), untuk membuat ‘keadaan’ yang lebih kondusif bagi produktifitas dan kesejahte raan. Namun adakalanya, konsep ini terbalik. Misalnya kesadar an untuk mentaati aturan, norma dan etika sering didahului oleh kondisi (keadaan) yang dipaksakan, seperti adanya ancaman untuk mengganggu proses produksi dalam bentuk demo atau mogok kerja, menuntut agar menaikan upah minimumnya, dan atau membayarkan kesejahteraan yang seharusnya diterima pa ra pekerja. Mungkin sama dengan yang diteorikan Marx, bahwa : ”keadaan manusia yang membentuk kesadarannya, bukan seba liknya”. Teori demikian bertentangan dengan yang diniscayakan para filusuf idealis, yang berpendapat bahwa “kesadaran manu sialah yang membentuk keadaannya.” Bagi saya, keduanya mempunyai hubungan timbal balik, seperti ayam dengan telur. Dikalangan kerah biru misalnya, sangat wajar jika keadaan (kon disi), khususnya fakor ekonomi mereka yang menyadarkannya, namun bagi kalangan kerah putih maka sepantasnya jika kesa darannya yang membentuk suatu keadaan.

Sejalan dengan perkembangan sistim ekonomi dan paradigma bisnis, suka atau tidak suka, pola hubungan antar pihak dalam HI harus me(di)nyesusaikan pula, adakalanya menyekat masa lah loyalitas dalam bentuk aturan-aturan dan kebijakan perusaha an, terutama yang menyangkut masalah kepegawaian, Seluruh nya menjadi wewenang pihak yang memiliki hak formal untuk mewakili pemegang saham, bahkan konotasi perusahaan milik negara direduksi oleh istilah perusahaan milik pemegang saham. Padahal selama saham tersebut masih milik negara yang hake katnya sama, yakni perusahaan milik negara. Pereduksian terse but tentu merubah spirit dan loyalitas para pekerja, dari yang se mula memberikan loyalitas terhadap negara (diistilahkan pengab dian), secara perlahan berubah menjadi terhadap pemegang sa ham. Tak peduli saham itu milik siapa, swasta atau pemerintah (negara). Oleh karenanya pola hubunganpun menjadi terpenga ruh, dari yang semula merasakan spirit pengabdian terhadap ne gara, menjadi pola hubungan pemilik dan pekerja, atau ibarat bu ruh dengan majikan.

Pola diatas dimungkikan sebagai DNA bawaan dari paradigma perusahaan non pemerintah, yang memiliki ketegasan sekat dikotomi, siapa pegawai dan siapa majikan, anda suka silahkan terus bekerja disini, jika tidak suka silahkan mundur. Memang sa ngat rational, sayangnya kurang memperhatikan humant aspect, dan pertanda tidak berjalannya pola pengembangan pegwai. Hal ini bisa saja bukan suatu bentuk pengabaian fungsi, namun kare na alasan kepentingan perusahaan, dan keadaan persaingan yang menyebabkannya demikian.

Kondisi yang makin memperparah keadaan dipicu pula oleh keti daktahuan, atau kekurangtaatan terhadap aturan ketenagakerja an. Seperti munculnya anggapan, bahwa wewenang untuk me ngeluarkan dan mengatur kebijakan perusahaan adalah mutlak milik pimpinan perusahaan, sesuai dengan hak yang diberikan undang-undang perseroan. Penulispun memiliki pendapat yang sama, namun ketika bersentuhan dengan kebijakan kepegawai an maka seharusnya tunduk pula pada undang-undang ketena-gakerjaan, dan undang-undang pun mengatur beberapa sanksi bagi para pelanggarnya.

Menengok fungsi dari masing-masing pihak didalam HI ada baik nya jika dicermati pula regulasi hasil ratifikasi dari konvensi ILO No.87. Dokumen tersebut bukan sekedar menunjukan bahwa In donesia adalah negara hukum dan demokratis, namun lebih substansif menyentuh hakekat dari nilai-nilai kemanusiaan, se hingga perlu dijadikan rujukan penting disetiap perusahaan yang mempekerjakan orang (manusia). Didalam undang-undang ke tenaga-kerjaan misalnya, menyebutkan fungsi dari pengusaha, yakni menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memper luas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan kepada pekerja secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan. Sedang kan Pekerja dan Serikat Pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban de mi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demo kratis, mengembangkan ketrampilan, dan keahliannya, serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Aturan ini tak perlu susah payah untuk dibuatkan tafsir baru, sudah sangat tegas dan jelas, bah kan dipertegas dalam perjanjian kerja bersama, adakalanya peru sahaan menggunakan wewenang diluar yang diperjanjikan untuk menindak pegawai yang menurut penafsirannya melanggar ke tentuan.

Bagi para pemerhati HAM, urusan ketenagakerjaan merupakan ranah penting, mengingat terkait erat dengan masalah kemanu-siaan. Kasus Marsinah misalnya, seorang aktifis buruh dari suatu daerah kecil, kematiannya mampu memancing reaksi dunia, dan menuduh negara melanggar HAM. Hal ini disebabkan pula oleh paradigma umum, bahwa pihak pekerja dibelahan manapun di niscayakan sebagai pihak yang lemah bila harus berhadapan de ngan keputusan perusahaan. Oleh karenanya wajar jika fungsi advokasi dan perlindungan hukum didalam aturan ketenaga kerjaan lebih banyak dibahas dan dicanangkan untuk melindungi pekerja.

Fungsi perusahaan yang menjadi harapan penting para pekerja, selain memberikan upah wajar yang sesuai dengan bidang usa ha, juga menyangkut masalah, pertama pengembangan pega- wai. Konsep ini sangat membantu perusahaan untuk mempersi apkan kader-kader pimpinan perusahaan dimasa datang, serta mendorong kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan bisnis. Hakekat pengembangan pegawai sama dengan pewarisan orang tua terhadap anak-anak nya. Jika suatu perusahaan dicanangkan untuk hidup lebih lama maka kaderisasilah jawabannya, karena tanpa kaderisasi takkan mungkin ada masa depan. Kaderisasi bisa terhenti antara lain disebabkan munculnya kebijakan zero growth penerimaan pega wai. Kebijakan ini biasanya dilakukan dalam rangka efesiensi biaya, khususnya biaya tenaga kerja. Kemandegan ini muncul pula manakala perusahaan lebih memilih merekrut para pekerja yang sudah jadi. Keadaan inilah yang menyebabkan gap kompe tensi dan pengalaman memimpin, namun dapat diatasi jika peru sahaan mempercepat proses pengembangan, misalnya melalui sistim tutorial atau dengan cara sistim magang.

Dalam article 12 UUTK menyebutkan hal yang sama, memberi kan tanggung jawab terhadap perusahaan untuk meningkatkan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelati han kerja. Disisi lainnya memberikan hak kepada setiap pekerja untuk memiliki kesempatan yang sama guna mengikuti pelatihan kerja dengan bidang tugasnya. Namun semua sangat tergantung terhadap kemauan dan trust perusahaan.

Kedua, ada kepastian karir yang terukur bagi segenap pekerja diperusahaan. Jika seorang asisten bekerja secara bersungguh-sungguh, mau dan mampu meningkatkan kompetensi dan kapa-belitasnya, maka wajar jika ia memiliki harapan untuk menjadi asisten manajer atau manajer. Jika seorang anggota divisi memi liki memiliki kompetensi dan kapabelitas yang baik untuk menjadi pemimpin divisi, maka wajar jika ia diberikan tantangan untuk menjadi pemimpin divisi. Harapan promosi (berkarir) tentunya menjadi dorongan tersendiri bagi terbentuknya etos kerja dan produktifitas. Mereka akan berlomba-lomba meningkatkan inte gritas, kompetensi dan kapabiltasnya. Dan merekapun tidak akan terpikir untuk berlomba-lomba mencari kerja diperusahaan lain.

Ketiga, penerapan sistim reward dan punishment secara konsis ten dan konsekwen. Jika seorang pekerja berprestasi maka wa jar diberikan reward, bahkan diberikan tantangan untuk jabatan yang lebih menantang, namun jika tidak tidak berprestasi, dan se cara sadar melakukan tindakan-tindakan yang merugikan perusa haan, maka wajar jika diberikan punishment, baik dalam kerang ka konsep pengembangan, maupun PHK bagi yang sengaja me lakukan pelanggaran berat. Pola semacam punishment demikian sebenarnya sudah mulai diterapkan untuk para pekerja yang di anggap low performance. Mereka tidak hanya menerima ganjar an penilaian dibawah BAIK, tapi mempengaruhi juga tingkat in sentif yang diterimanya. Sayangnya kebijakan ini tidak dilanjut-kan dengan konsep pengembangan, seperti couching atau tutori al, sehingga pekerja tersebut menjadi sangat tidak produktif dan demotivasi.

Suatu hal yang harus diperhatikan adalah jika perusahaan lebih memperhatikan kepentingan bisnis jangka pendek. Seperti mela kukan pola rekruitment para pekerja yang dianggap sudah memi liki kompetensi sesuai dengan yang diharapkan, atau siap pakai, kemudian ditempatkan diunit baru dan untuk job yang termasuk tinggi, karena selain perusahaan (seharusnya) tidak perlu menge luarkan biaya pelatihan atau apapun yang terkait dengan pe ngembangan bagi mereka, juga bisa langsung praktek dan meng hasilkan, sehingga wajar jika dibayar lebih tinggi dibandingkan dengan pegawai yang setingkat.

Undang-undang, khususnya article 59, tentang kerja waktu ter tentu (PKWT) memberikan peluang kepada perusahaan untuk melakukan pola rekruitment demikian dan bersifat sementara (dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu tahun), bukan untuk tenaga yang difinitif; dan hanya untuk job-job tertentu, seperti pekerjaan yang bersifat musiman atau job baru yang sebelumnya tidak ada diperusahaan tersebut atau masih dalam pengembangan produk. Sifat sementara di maksudkan agar para pegawai yang direkrut tersebut mampu menularkan penge tahuannya kepada para pegawai yang sudah dedicated di pe rusahaan tersebut, sehingga perusahaan dapat mengefisienkan biaya tenaga kerja, melakukan pengembangan secara efektif, dan sekaligus memiliki pengelola sesuai dengan kompetensi dan kapabelitasnya. Jika perusahaan menginginkan untuk mendifini tipkan maka pola yang digunakan adalah PKWTT, sama halnya dengan para pegawai lain yang sudah dedicated diperusahaan.

Ketidak jelasan pola pengembangan karir pegawai didalam sua tu perusahaan dapat ditenggarai dari adanya rasa tidak puas, de motivasi dan menggangu produktifitas, karena tidak memiliki ha rapan. Jika pekerja berbuat melebihi apa yang di tugaskannya, ia pun akan tetap merasa tidak akan diberikan promosi, apalagi sudah ada pegawai baru yang duduk diatasnya, atau ditetapkan kuota tertentu untuk jabatan yang lebih ditinggi, misalnya ditetap kan kuota 60% dari luar dan 40% dari dalam. Bagi pegawai yang sudah tidak peduli namun merasa memiliki kompetensi yang cukup, mereka berupaya mencari pekerjaan diperusahaan lain, karena memang hidup harus terus berjalan, namun yang perlu di perhatikan adalah munculnya tahap awal conflict dalam perusa haan (attendent) dan kelangsungan bisnis perusahaan.

Siapapun akan berharap perusahaan tempat mengabdi dan men cari nafkahnya dapat maju dan terhindar dari masalah-masalah yang sebenarnya dapat dihindari. Namun kesemuannya hanya dapat dilakukan jika semua pihak memiliki kesadaran untuk mem bangun keadaan yang lebih baik, dengan itikad dan cara-cara yang baik pula, dan tidak terbawa hanyut oleh keadaan yang memang harus diperbaiki. Semoga

Tidak ada komentar: