Rabu, 31 Oktober 2012

Serapah

Menurut kabar Twitter bakal meredam penyebaran kicauan sumpah serapah dalam akun jejaring sosialnya. Tak urung BBC, Jumat (29/6/2012) menyebutkan pula bahwa Pemimpin Eksekutif Twitter Dick Costolo mengakui sudah banyak contoh kicauan yang mengerikan. Rencana ini diluncurkan setelah polisi menyelidiki cacian rasis yang diarahkan kepada para pemain Timnas Inggris, setelah mereka kalah dalam adu penalti di babak perempat final Piala Eropa melawan Italia pada Minggu lalu. Kali inii pemain Chelsea Ashley Cole dan Ashley Young dari Manchester United, menjadi sasaran komentar cacian di Twitter, setelah Inggris angkat koper dari Piala Eropa 2012.

Pada Maret lalu, seorang mahasiswa dipenjara karena mengejek Fabrice Muamba, setelah pemain Bolton berkulit hitam terkena serangan jantung dalam Piala FA. Dick Costolo menuturkan, meski cacian di Twitter menjadi prioritasnya, ia bakal tetap mempertahankan kebebasan berbicara. "Alasan mengapa kami mengizinkan nama samaran adalah karena banyak tempat di dunia ini yang tidak memungkinkan untuk berbicara bebas," ujar Costolo kepada Harian Financial Times. Dampak lainnya, lanjut Costolo, nama samaran memungkinan cacian ini semakin meningkat. Sejumlah selebriti juga telah menyatakan keprihatinan terkait meningkatnya cacian di Twitter.

Dinegeri yang ramah ini sumpah serapah dan bahasa kutukan sudah tak asing mampir ditelinga para penduduk yang beradab dan sangat tamah. Ketika bangun tidur dan kenyamanannya terganggu tak seorang pun bisa menghalanginya jika ia membuka jejering sosialnya, lantas meluncurkan sumpah serapah. Seorang laki-laki yang putus cinta atau ditipu orang boleh pula ikut serta untuk memuntahkan serapah dan kutukan. Bahkan jika saya merasa gagal dalam kehidupan, boleh pula ikut serta memaki siapa saja. Apakah seorang teman, orang yang dianggap menyebalkan, atau yang sering para pejabat dan para pesohor.

Media massa pun tanpa sadar (mungkin juga sadar) menampilkan acara saling caci yang disebutnya debat bebas. Tak aneh jika rating tontotanpun menjadi naik. Para pelaku debat pasca debat bersalaman, bahkan ngopi bersama. Tapi apa yang didebatkan dan bermuah makin masih membekas dibenak penonton. Tak lama kemudian tawuran siswa sekolah pun muncul pula. Anak sma mati dengan sia-sia. Sebagian lagi membusungkan dada dan puas atas perbuatannya. Di bagian Indonesia lainya pun muncul perang antar mahasiswa, merengut nyawa mahasiswa sesama mahasiswa yang masih dalam satu perguruan tinggi. Perang antar kampung atau antar warga negara satu dengan lainyapun muncul dimedia massa dan elektronika. Tentu siapapun tidak akan mengakui bahwa peperangan yang tak berguna itu mencontoh dari apa yang mereka tonton. Karena toh peperangan dan kekerasan itu bukan tujuan dari penyajian berita.

Para budayawan pun mungkin ikut frustasi, atau terbawa suasana publik. Mereka tampilkan pula judul-judul tulisan yang tak kalah seram. Dari istilah negara kutukan sampai dengan negara para bedebah. Suasana ini mungkin disebutkan sebagai kebebasan berekspresi. Ada juga yang mengaitkan dengan sikap liberal, bahkan dikatagorikan pada sifat egaliter. Akan tetapi apakah etika masih diperlukan ?. Dimana manusia mematokan diri terhadap etika itu ?. Ah sayapun ternyata bedebah. Karena tak paham masalahnya. sapun ngomong Wow sambil koprol.

Tidak ada komentar: