Ditengah gelegar isu kepastian hukum dan krimininalisasi yang di creat para markus (makelar kasus) dan matik (makelar politik) muncul kasus Prita Mulyasari, seorang ibu muda yang mungkin tidak pernah membayangkan jika ia dikemudian hari akan menjadi seorang yang terkenal akibat ketertindasannya.
Prita tak mampu bertarung dilembaga hukum yang dihormatinya untuk membela diri. Banyak dalil-dalil dan sanggahan tentang kasusnya, bahkan disampaikan para pengacara berikut dukungan masyarakat tak cukup kuat untuk menghalangi jatuhnya palu bersalah di pengadilan. Prita divonis salah dan wajib membayar ganti rugi.
Memperdebatkan salah dan tidak bersalah pada kasus prita memang ibarat menggantang asa. Bukan karena sistim hukumnya, tapi paradigma hukumnya yang perlu diselaraskan, terutama alasan kepastian hukum. Padahal paradigma kepastian hukum sudah jauh hari dianggap tidak populer, karena yang jauh dianggap lebih penting adalah agar hukum harus dapat memenuhi rasa keadilan, karena hukum bukan hanya untuk hukum. Kecuali memang Hukum digunakan untuk alat kapitalis.
Yang unik dari kasus prita adalah terbangunnya solidaritas masyarakat. Munculnya kembali rasa kebersamaan – senasib dan sepenanggungan. wujud dari rasa ini terbentuk dengan munculnya para relawan pengumpul koin, dari orang-orang terpelajar sampai dengan preman jalanan. Mereka bertujuan membayar kewajiban prita atas adanya putusan hukum.
Semula banyak masyarakat yang meragukan adanya rasa ini, bahkan dianggap bermuatan politis. Masyarakat saat ini dianggap individualistis dan tak mau tahu urusan sosial orang lain. Tertapi takdir bangsa ini berkehendak lain. Kekokohan dan angkernya palu Hakim mampu diluluh lantakan dengan sekeping demi sekeping uang koin yang dikumpulkan. Semua terhenjak – tersentak. Ternyata gerakan moral jauh lebih ampuh dari gerakan politik manapun, termasuk gerakan kondisi yang direkayasa para politikus.
Kasus Prita memberikan pelajaran, bahwa ternyata nilai-nilai kebenaran mampu menghempaskan kesombongan dan kekuasaan manusia manapun. Gerakan moral dari setiap insan yang ikhlas mampu menggagalkan rekayasa hukum manusia, bahkan suatu materi tidak bisa menjadikan sesuatu yang berarti ketika moral menyatakan “tidak”.
Hanya mungkin yang masih perlu direnungkan kembali adalah : ketebalan muka dan tidak adanya rasa malu manusia akan tetap mengawali munculnya pengangkangan Hak Azasi dan kepongahan kekuasaan. Mungkin dengan cara melirik orang-orang yang kurang beruntung akan sedikit melunakan hati kita. Mudah-mudahan kedamaian hati menyertai kehidupan kita bersama.
Memperdebatkan salah dan tidak bersalah pada kasus prita memang ibarat menggantang asa. Bukan karena sistim hukumnya, tapi paradigma hukumnya yang perlu diselaraskan, terutama alasan kepastian hukum. Padahal paradigma kepastian hukum sudah jauh hari dianggap tidak populer, karena yang jauh dianggap lebih penting adalah agar hukum harus dapat memenuhi rasa keadilan, karena hukum bukan hanya untuk hukum. Kecuali memang Hukum digunakan untuk alat kapitalis.
Yang unik dari kasus prita adalah terbangunnya solidaritas masyarakat. Munculnya kembali rasa kebersamaan – senasib dan sepenanggungan. wujud dari rasa ini terbentuk dengan munculnya para relawan pengumpul koin, dari orang-orang terpelajar sampai dengan preman jalanan. Mereka bertujuan membayar kewajiban prita atas adanya putusan hukum.
Semula banyak masyarakat yang meragukan adanya rasa ini, bahkan dianggap bermuatan politis. Masyarakat saat ini dianggap individualistis dan tak mau tahu urusan sosial orang lain. Tertapi takdir bangsa ini berkehendak lain. Kekokohan dan angkernya palu Hakim mampu diluluh lantakan dengan sekeping demi sekeping uang koin yang dikumpulkan. Semua terhenjak – tersentak. Ternyata gerakan moral jauh lebih ampuh dari gerakan politik manapun, termasuk gerakan kondisi yang direkayasa para politikus.
Kasus Prita memberikan pelajaran, bahwa ternyata nilai-nilai kebenaran mampu menghempaskan kesombongan dan kekuasaan manusia manapun. Gerakan moral dari setiap insan yang ikhlas mampu menggagalkan rekayasa hukum manusia, bahkan suatu materi tidak bisa menjadikan sesuatu yang berarti ketika moral menyatakan “tidak”.
Hanya mungkin yang masih perlu direnungkan kembali adalah : ketebalan muka dan tidak adanya rasa malu manusia akan tetap mengawali munculnya pengangkangan Hak Azasi dan kepongahan kekuasaan. Mungkin dengan cara melirik orang-orang yang kurang beruntung akan sedikit melunakan hati kita. Mudah-mudahan kedamaian hati menyertai kehidupan kita bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar