Kamis, 10 April 2008

JIWA MERDEKA








Kebeasan memilih yang dimiliki manusia berada diantara pasca rangsangan dansebelum memberikan respon.
Kebebas
an tersebut merupakan keunggulan manusia.
Karena manusia memiliki kesadaran
diri ; kehendak bebas ;
memiliki hati nurani yang dapat membedakan baik dan

buruk ; s
erta memiliki imajinasi yang kreatif.

Nasib kita ada didalam genggaman kita sendiri… dengan lebih teguh kita harus percaya akan kepandaian dan tenaga kita sendiri….. dengan menolak tiap-tiap politik oppurtunisme dan tiap-tiap possibilisme, yakni tiap-tiap politik yang menghitung hitung : ini tidak bisa dan itu tidak bisa. Maka kita bersama Mahatma Gandhi berkata : siapa mau mencari mutiara, harus berani selam kedalam laut yang sedalam-dalamnya ; siapa yang dengan kecil hati yang berdiri dipinggir sahaja dan takut terjun kedalam air, ia tak tak akan dapat sesuatu apa !”. Demikian tulisan Soekarno yang dituangkan dalam Buku Dibawah Bendera Revolusi.

Mahatma Gandhi

Memang kita sering ragu untuk mengambil suatu keputusan yang kita yakini benar. Keraguan terkadang tak memiliki korelasi dengan kegagalan, karena sering menghitung-hitung dan takut terhadap kegagalan, akhirnya kitapun tak mampu memperoleh manfaat dari keraguan kita, bahkan gagal sebelum mencapai kegagalan. Kitapun memekik “merdeka” dan membantu orang untuk merdeka, namun tak sadar jika jiwa kita belum merdeka, karena masih tergantung kepada keberanian orang lain ; berharap banyak dari bantuan orang lain ; serta tidak berani mengambil keputusan. Karena sesungguhnya pikiran kita belum merdeka.

Manusia yang mampu memerdekakan jiwanya akan berpikir, bahwa : keberhasilannya ditentukan oleh diri sendiri ; berani melakukan sesuatu yang dianggapnya benar ; tidak sekedar mengkhayal, atau seolah-olah tidak berdaya, padahal menikm

ati ketidak berdayaannya. Seperti laki-laki yang masih mampu mencari nafkah namun memilih jalan jadi pengemis ; seperti pelacur yang pura-pura tak mampu melawan kehendak nafsu laki-laki padahal iapun menikmatinya ; banyak lagi contoh manusia yang tak mampu memerdekan dirinya namun menikmati kondisinya. Karena sesungguhnya ia telah menjual kemerdekaannya kepada rasa takut dan kegagalan.

Sekalipun ada moral dan etika yang membatasi kemerdekaan manusia, namun sebenarnya moral etik adalah faktor kunci kemerdekaan jiwa manusia. Tanpa ada anutan moral dan etika, manusia menjadi tidak merdeka dan diperbudak nafsu keduniaannya. Sejatinya kemerdekaan manusia ada pada fitrahnya yang hakiki, yakni sebagai makhluk sosial ; makhluk pembelajar ; dan makhluk spiritual.

Dalam menjalani hidup, manusia dituntut menentukan sikap untuk segera memilih, tidak dapat menunda-nunda sesuatu. Karena kehidupan ibarat sungai, terus mengalir, jika tidak arusnya memaksa mengalirkannya, namun ditengah kedahsyatan arus, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan arah aliran, kemana ia mau mengarahkannya, tak juga perlu tergantung terhadap pribadi lain.

Bagi manusia yang menangisi nasib, tentu saja nasib yang mempermainkan hidupnya, namun bagi mereka yang sudah membebaskan diri dari belengu dan pikiran-pikiran menyesatkan, nasib sepenuhnya berada dalam genggamannya. Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya. Menurut Imam Hasan, : ”Allah tidak bertanggung jawab atas perbuatan manusia, Allah tidak memaksa manusia untuk berbuat sesuatu; jika Allah memaksakan kehendak-Nya pada manusia, maka pahala dan dosa tidaklah berlaku”.

Puncak Kebebasan

Untuk mengantarkan pada penemuan “Puncak Kebebasan Manusia”, di dalam budaya kita bukanlah sesuatu yang asing. Dalam cerita lama tentang Sunan Kalinyamat, ia pernah melakukan tapa (laku) dengan cara telanjang bulat. Dari laku-nya membuahkan hasil yang fantastis. Ia tak pernah mempermasalahkan perbedaan Gender, namun dapat memiliki kekuatan bathin melebihi kekuatan Lelaki manapun dijamannya. Iapun dengan caranya mampu membunuh pembunuh suaminya tercinta.

Cara-cara yang dilakukan Sunan Kalinyamat sampai saat ini masih membekas didalam tradisi laku masyarakat. Banyak masyarakat yang mengikuti lakunya. Sayang, laku dan tempat melakukannya dijadikan tempat pelacuran terselubung. Konon kabar para pejiarah jika ingin terkabulkan maksudnya, perlu bersetubuh dengan orang lain ditempat itu.

Praktek-praktek memerdekakan diri seperti ilustrasi diatas, sama seperti ketika Victor Frankl menemukan “Puncak Kebebasan Manusia”. Sama pula dengan cara Sir Issac Newton ketika ia merespon rangsangan dalam menemukan Hukum Gravitasi. Demikian pula cara-cara Soekarno atau para penemu pengetahuan lainnya. Pemikiran yang ia susun banyak dibuat dalam keadaan ketertekanan penjara. Mahatma Gandhi melakukannya melalui laku penyengsaraan diri. Menerima atau terkadang mengundang stimulan dalam bentuk kesakitan, fisik atau bathin. Hanya saja, ketika tekanan itu datang, mereka memilih respon positif, sehingga menghasilkan penemuan yang sangat positf, berguna bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Puncak kebebasan sama sekali tidak terkait dengan masalah kebebasan “umbar nafsu”, karena umbar nafsu justru menggambarkan ketidak bebasan manusia dalam merespon sifat-sifat dasarnya yang sama dengan hewan, atau disebut juga sebagai makhluk yang diperbudak hawa nafsunya. Kebebasan manusia terkait erat dengan cara membebaskan fitrahnya sebagai makhluk spiritual, perlu menjaga martabatnya. Salah satu cara menjaga martabatnya, selain melalui cara aktualisasi diri juga mampu menahan umbar nafsunya.

Untuk mengantarkan pada “Puncak Kebebasan”,manusia sering menggunakan terapi. Bagi para pengagung rasionalitas, dilakukan seperti penemuan Frankl. Namun agar lebih rational dan mendapatkan konsentrasi yang tinggi maka diselipkan unsur meditasi. Penjelasanpun diupayakan lebih realistis, sehingga banyak para profesional yang mengikuti cara-cara tersebut.

Sebelum menemukan tingkat kebebasan atau pencerahan, manusia terlebih dahulu menerima stimulus (rangsangan) melalui indra, kemudian dikirim kedalam otak, akhirnya otak menentukan respon apa yang akan dilakukannya. Proses ini dapat menghasilkan sikap mental manusia, jika respon yang dipilihnya dilakukan berulang-ulang dan menjadi pola atau kebiasaan (Habit).****)


Jakarta, 17 Agustus 2007


Artikel terkati : Titik Kritis Memilih Kebebasan





Tidak ada komentar: