Nasib manusia tidak dibentuk oleh lingkungan, kecuali jika Ia merasa perlu tunduk pada lingkungan, atau ada pengaruh ling kungan yang sangat kuat. Karena manusia memiliki pilihan, ia bebas memilih, kepada siapa harus tunduk, atau apa yang perlu ia lakukan. Konon ada suatu pendapat, bahwa : nasib itu sebe narnya tidak ada, karena jika nasib manusia sudah ditentukan dari asalnya, maka rumusan dosa dan pahala menjadi hilang. Sekalipun pendapat ini dibantah oleh madzhab lainnya, akan tetap seluruh aliran manapun bersepakat, bahwa manusia wajib berikhtiar atau berupaya adalah mutlak diperlukan oleh manusia selama hidupnya.
Manusia memiliki akal untuk memilih jalannya. Pilihan itu ada lah kehendak dirinya. Manusia memilki kebebasan apapun un tuk menjadi apa dan siapapun. Ia memiliki kebebasan untuk me milih hidup mulia atau nista. Bagi seorang yang menyatu dan harmonis dengan realitas diri maka Ia akan dibimbing oleh suara hatinya, Ia sangat tahu apa yang dikehendaki dirinya. Sebalik nya, bagi yang tidak mengenal dirinya, bukan kebebasan memi lih yang dimiliki, namun ibarat berada diatas perahu tanpa kemudi, ditengah laut yang diom bang-ambingkan ombak, tak jelas kearah mana akan dibawa, apakah akan terus hanyut atau terdampar di pulau karang. Inilah yang dimaksud Napoleon Hill : jika kita tahu apa yang kita inginkan, kita akan lebih mudah untuk mengetahuinya pada saat kita kita melihatnya, seperti ketika kita membaca buku, maka kita akan mengetahui hal-hal yang dapat membantu kita memperoleh apa yang kita inginkan.
Didalam bahasan mengenai Hina, dijelaskan, bahwa : manusia dalam kesedihannya dapat membawa dirinya – menggunakan kebebasan memilihnya menuju kemuliaan hidup, karena ia memiliki perspektif positif dalam menilai orang yang menyaki tinya. Ia memilih dan menentukan, bahwa perasaan dendam tak kan mampu membawa kedamaian hatinya, tak pula mampu menentramkan jiwa, pada akhirnya sang tokoh (Pema) berpen dapat, bahwa mantan suaminya bukan orang yang mencampa kannya namun ia pembuka jalan menuju kehidupan yang baru.
Kebebasan memilih atau merespon terhadap sesuatu bukan ha nya terjadi pada diri kita, karena setiap manusia bebas memilih, apakah stimulus yang ia terima perlu direspon dengan sikap ne gatif atau positif. Seperti seorang dalam keadaan pusing dan sen sitif, tiba-tiba mendengar orang lain tertawa-tawa, entah apa yang di tertawakannya, mungkin juga sedang tidak menerta wakannya, namun karena suasana hatinya yang sensitif maka ia meresponnya dengan cara menganggap orang itu sedang men tertawakannya.
Disisi lain bisa saja seseseorang yang dihinakan malah memilih hinaan itu sebagai ujian, atau memacu diri untuk meraih kesuk sesannya. Bagi manusia yang mampu memiliki kebebasan memi lih respon, syak wasangka bisa ditangkal segera diarahkan untuk tidak berfikir negatif, malah ikut tertawa, menertawakan diri sendiri atau orang yang menertawakannya. Jika Ia telah mampu memilih respon tersebut, iapun mampu mengembangkan kebe basan pribadi, sekalipun dalam keadaan sulit.
Covey mencontohkan tentang kehendak bebas yang dipilih Frankl, seorang tawanan perang Jerman, yang mampu melepas kan rasa sakit dari siksaan yang diterimanya, dengan cara meru bah pikirannya untuk tidak menerima rasa sakit itu, sehingga ia pun mampu mengilhami orang lain. Laporan autobiografi para tawanan perang Vietnam memberikan kesaksian persuasif tam bahan tentang kekuatan transformasi dari kebebasan pribadi yang dikembangkan Frankl. Sekalipun secara fisik ditawan na mun identitas dan kepribadian mereka tetap utuh dan merdeka. Merekapun tidak merasa sedang ditawan, bahkan mereka ya kin, bahwa kebebasan merupakan keunggulan manusia; Karena manusia memiliki kesadaran diri; kehendak bebas; hati nurani yang dapat membedakan pilihannya; serta memiliki imajinasi yang kreatif.
Dalam penentuan titik memilih kebebasan, Covey menandai ke bebasan memilih yang dimiliki seorang manusia berada diantara rangsangan dengan respon, atau diantara pasca rangsangan dan sebelum memberikan respon. Rangsangan dikirimkan panca in dra kedalam otak manusia dalam bentuk melihat, mendengar, mencium, merasa, menyentuh, bahkan melakukan. Lebih konkritnya ia memberikan informasi tentang apa yang di lihat–apa yang didengar–apa yang dirasakan–apa yang di sen tuh–apa yang dicium – apa yang dilakukan. Namun apakah yang melihat, mendengar, dan merasa itu panca indra, karena senya tanya bahasa otak adalah bahasa gambar, sedangkan panca in dra hanya alat sensor yang menentukan ketepatan gambaran otak dengan kenyataan (realitas). Otak kemudian memilah dan menentukan, respon yang akan diberikan terhadap rangsangan tersebut.
Memiliki kebebasan untuk memilih adalah salah satu keunggul an manusia. Kebebasan dapat diaplikasikan pada setiap mo ment pasca rangsangan. Dalam kenyataannya manusia sering di hadapkan pada peta pengetahuan dan keraguan untuk tidak da pat memilih. Untuk menggunakan keunggulan tersebut manusia perlu mengetahui titik-titik kritis, dimana kebebasan dapat dipi lih dan ditentukan. Titik kritis memilih kebebasan yang paling menentukan berada diantara pasca rangsangan dengan sebelum memberikan res pon. Saya dipukul orang maka timbul rangsangan. Pilihan untuk merespon atas pukulan tersebut dikelola oleh otak. Sayapun me miliki kebebasan apakah saya akan membalas atau menerima dengan senang hati. Naluri tidak selamanya dapat memerintah kan otak untuk melakukan tindakan impulsif berupa tindakan ne gatif, namun otak memiliki kebebasan untuk memberikan res ponnya, misalnya otak memerintahkan untuk merespon tinda kan tersebut sebagai gurauan, atau memaklumi. Contoh lain, manusia dalam keadaan tertekan, biasanya sulit menemukan jalan keluar atas suatu masalah, karena pikirannya berada dida lam lingkaran setan. Namun otak manusia dapat bebas menga lihkan ketertekanan tersebut dan memberikan respon lainnya. Jika saya bisa menganggap tidak ada persoalan, atau mengalih kan respon menjadi sesuatu yang positif, maka itulah yang akan saya rasakan. Mungkin akan jauh lebih baik jika ditanggapi deng an cara mensyukuri, karena tanpa ada persoalan, seseorang ti dak dapat pelajaran yang berarti dalam menangani persoalan yang sama dikemudian hari.
Cara otak merespon rangsangan dengan kebiasaan memberikan respon, kadang ibarat telur dengan ayam. Siapa yang lebih dahu lu dipengaruhi dan siapa yang mempengaruhi. Respon yang di berikan otak jika dilakukan secara sadar dapat diarahkan kearah berpikir positif atau bersikap proaktif. Respon akan senantiasa proaktif terhadap perubahan kearah yang positif. Jika saja dila kukan dengan baik maka akan merupakan “puncak kebebasan manusia” untuk memilih respon. Kehendak bebas dimaksud harus pula disetarakan dengan cara manusia menerima perubahan yang positif. Orang sosialis me nyatakan dengan sikap revolusioner, melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dengan segera, sedang dalam paradigma islam dengan istilah hijrah, yakni merubah kondisi atau perilaku buruk kearah yang lebih baik.
Ada juga yang menanggapi respon sesuai dengan kebiasaan. Mi salnya, pejalan kaki yang terantuk batu, karena kekagetannya, ada dua kemungkinan respon yang diucapkan secara reflek. Per tama mengumpat dengan bahasa-bahasa kotor atau menyebut nama Tuhan. Kebiasaan mana yang biasa ia digunakan. Jika ia terbiasa merespon dengan bahasa-bahasa negatif ia mengum pat dengan cara negatif, namun jika melakukan kebiasaan seba liknya ia pun akan mengumpat dengan bahasa yang positif, begi tulah peta kekuatan kebiasaan dalam mempengaruhi perilaku manusia. Kebebasan manusia yang paling pokok sangat dirasakan manfa atnya pada saat memberikan respon, melalui pengendalian res pon atas desakan rangsangan. Pengendalian berawal dari cara memiliki kebebasan berpikir, untuk berpikir apa saja. Pikiran-pi kiran yang tak mampu dipengaruhi orang lain atau suatu kondi si, adalah pikiran yang bebas–merdeka.
Orang bisa mengusahakan kesakitan atas diri seorang manusia, namun jika manusia tersebut mampu membebas kan pikiran tcentang kesakitannya maka menjadi tak tersakiti. Mungkin bisa mengambil hikmah dari cerita Nabi Ibrahim, sekalipun dibakar api namun ia tak bergeming, bahkan dapat keluar dari kobaran api dengan selamat. Pada tahap pemahaman dan praktek kebe basan diatas dianggap telah memiliki “puncak kebebasan yang tertinggi”. Mungkin juga perlu direnungkan pendapat Eleanor Rosevelet, : “tak seorangpun dapat menyakiti anda tanpa perse tujuan anda “. Anda adalah tuan atas diri dan pikiran anda. De mikian pula menurut Gandhi : ”mereka tak dapat merengut harga diri kita jika kita tidak memberikannya kepada mereka”. Saya menjadi saya pada hari ini karena pilihan yang saya buat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar