Kisah pengabdian manusia dalam
kehidupannya, terutama ketika harus mengambil aras kebenaran universal tak
selamanya berbuah manis didunia, kecuali bagi mereka yang mampu memaknainya.
Demikian pula dalam keseharian kita sebagai khalifah didunia ini, sesekali tak
luput dari apa yang disebut nestapa dan dinistakan, hanya karena meyakni suatu
kebenaran yang telah out of date atau pemikiran tentang kebenarannya terlampau
jauh melompat kemasa depan.
Mungkin ada benarnya thesis
Hegel, konon katanya kebenaran itu sesuai dengan jamannya ketika kebenaran itu
diyakini benar. Hegel pun meyakini dasar kebenarannya berangkat dari teori
dialektika idealnya, suatu nilai yang mapan akan selalu diuji oleh nilai-nilai
baru yang dianggap benar dijamannya, kemudian diuji kembali pada masa tertentu
dengan nilai-nilai lainnya. Konon pula hasil dari perdebatan itulah yang
dfisebut sinthesa. Realitas lainnya dalam pikiran dialektis, diniscayakan pula
akan berkembang sama. Namun posisinya bisa berbagai macam, apakah sebagai thesa
(perubahan alamiah dari sintesa) yang berposisi mempertahankan nilai-nilai yang
lama, atau sebagai antitesa yang menunutu pembaharuan. Kadang thesa lah yang
menang dan diakui sebagai nilai yang benar, atau antitesa, atau gabungan dari
keduannya. Itulah hukum perubahan.
Manusia yang bertindak sebagai
seorang pemimpin, adakalanya selalu menuntut orang lain dan lingkungannya untuk
memiliki pemikiran yang sama. Hal ini tak dapat pula disalahkan, karena
menginginkan ide kepemimpinnya dijalankan dan sesuai dengan apa yang
diharapkannya. Namun adalah wajar pula jika mendapat pertentangan dari
lingkungan, karena manusia yang ada dilingkungan kita memiliki fitrah sebagai
makhluk berpikir dan sekaligus mahluk pembelajar. Mungkin saja pemikiran yang
beda itu justru yang benar. Dan bukan kah “Perbedaan itu rakhmatan lilalamin
?” Oleh karenanya, tak perlu mengeluh
atau frustasi, apalagi mengeluarkan sumpah serapah. Seolah-olah, kita lah yang
paling benar.
Kisah tentang keihlasan memimpin,
sebenarnya telah Tuhan berikan tanda-tandanya, seperti ketika mengutus para
nabinya. Dalam sejarah perjalanan kenabian misalnya, sesungguhnya sangat jarang
ditemukan cerita seorang nabi yang langsung diakui umatnya sebagai nabi. Mereka
kerap dinistakan, diperangi, dilecehkan, dan seabreg perlakuan-perlakuan yang
diluar batas kemanusiaan. Namun karena keikhlasannya, yang kerap disebut sabar
dan tawakal menjalankan perintah Tuhan, pada akhirnya diakui sebagai nabi
pembawa berita kebenaran.
Para pemimpin sekarang misalnya
bisa mengambil hikmah dari peristiwa banjir di jaman Nabi Nuh, banyak
dikisahkan dalam hampir seluruh kebudayaan manusia. Penolakan umat Nuh terhadap
nasehat dan peringatannya, berikut reaksi-rekasinya terhadap risalahnya semua
diceritakan dengan sangat detail dalam kitab suci. Pada akhir cerita memang apa
yang dirisalahkan Nuh terbukti, banyak umatnya yang musnah, kecuali mereka yang
ikut menaiki Bahtera yang dibuat Nuh. Dari kisah itu saya melihat ketabahan
Nuh, bahkan ketika Kanaan anak Nuh tidak mempercayai risalahnya maka Nuh pun
harus merelakannya, hingga anak Nuh itupun tenggelam di sapu banjir.
Jika menjadi seorang pemimpin
adalah pilihan, maka keihlasan menjalankan pilihannya itulah yang diperlukan.
Seorang pemimpin yang ikhlas menjalankan kepemimpinnya tak kan pernah
menegeluh, frustasi atau mengeluarkan sumpah serapah. Seorang pemimpin yang
ikhlas tentu bersih hati; tulus memberi
pertolongan bagi lingkungannya yang membutuhkan dan membimbingnya. Karena
dengan keikhlasan dan ketulusan hati; kejujuran; kerelaan berkorban, maka
diniscayakan akan mengantarkannya kedalam kesejatian seorang pemimpin. Namun
masalahnya, apakah ia memimpin hanya untuk kepentingan pribadi dan ambisinya ?
atau memang dikarenakan sadar fungsinya sebagai khalifah ?. itu pun pilihan
anda. karena, ketikan anda dipilih untuk memimpin, karena anda pun memiliki
perbedaandengan yang lain. Walahuallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar