Senin, 30 Maret 2015

Tak Perlu Serapah

Kisah pengabdian manusia dalam kehidupannya, terutama ketika harus mengambil aras kebenaran universal tak selamanya berbuah manis didunia, kecuali bagi mereka yang mampu memaknainya. Demikian pula dalam keseharian kita sebagai khalifah didunia ini, sesekali tak luput dari apa yang disebut nestapa dan dinistakan, hanya karena meyakni suatu kebenaran yang telah out of date atau pemikiran tentang kebenarannya terlampau jauh melompat kemasa depan.

Mungkin ada benarnya thesis Hegel, konon katanya kebenaran itu sesuai dengan jamannya ketika kebenaran itu diyakini benar. Hegel pun meyakini dasar kebenarannya berangkat dari teori dialektika idealnya, suatu nilai yang mapan akan selalu diuji oleh nilai-nilai baru yang dianggap benar dijamannya, kemudian diuji kembali pada masa tertentu dengan nilai-nilai lainnya. Konon pula hasil dari perdebatan itulah yang dfisebut sinthesa. Realitas lainnya dalam pikiran dialektis, diniscayakan pula akan berkembang sama. Namun posisinya bisa berbagai macam, apakah sebagai thesa (perubahan alamiah dari sintesa) yang berposisi mempertahankan nilai-nilai yang lama, atau sebagai antitesa yang menunutu pembaharuan. Kadang thesa lah yang menang dan diakui sebagai nilai yang benar, atau antitesa, atau gabungan dari keduannya. Itulah hukum perubahan.

Manusia yang bertindak sebagai seorang pemimpin, adakalanya selalu menuntut orang lain dan lingkungannya untuk memiliki pemikiran yang sama. Hal ini tak dapat pula disalahkan, karena menginginkan ide kepemimpinnya dijalankan dan sesuai dengan apa yang diharapkannya. Namun adalah wajar pula jika mendapat pertentangan dari lingkungan, karena manusia yang ada dilingkungan kita memiliki fitrah sebagai makhluk berpikir dan sekaligus mahluk pembelajar. Mungkin saja pemikiran yang beda itu justru yang benar. Dan bukan kah “Perbedaan itu rakhmatan lilalamin ?”  Oleh karenanya, tak perlu mengeluh atau frustasi, apalagi mengeluarkan sumpah serapah. Seolah-olah, kita lah yang paling benar.

Kisah tentang keihlasan memimpin, sebenarnya telah Tuhan berikan tanda-tandanya, seperti ketika mengutus para nabinya. Dalam sejarah perjalanan kenabian misalnya, sesungguhnya sangat jarang ditemukan cerita seorang nabi yang langsung diakui umatnya sebagai nabi. Mereka kerap dinistakan, diperangi, dilecehkan, dan seabreg perlakuan-perlakuan yang diluar batas kemanusiaan. Namun karena keikhlasannya, yang kerap disebut sabar dan tawakal menjalankan perintah Tuhan, pada akhirnya diakui sebagai nabi pembawa berita kebenaran.

Para pemimpin sekarang misalnya bisa mengambil hikmah dari peristiwa banjir di jaman Nabi Nuh, banyak dikisahkan dalam hampir seluruh kebudayaan manusia. Penolakan umat Nuh terhadap nasehat dan peringatannya, berikut reaksi-rekasinya terhadap risalahnya semua diceritakan dengan sangat detail dalam kitab suci. Pada akhir cerita memang apa yang dirisalahkan Nuh terbukti, banyak umatnya yang musnah, kecuali mereka yang ikut menaiki Bahtera yang dibuat Nuh. Dari kisah itu saya melihat ketabahan Nuh, bahkan ketika Kanaan anak Nuh tidak mempercayai risalahnya maka Nuh pun harus merelakannya, hingga anak Nuh itupun tenggelam di sapu banjir.


Jika menjadi seorang pemimpin adalah pilihan, maka keihlasan menjalankan pilihannya itulah yang diperlukan. Seorang pemimpin yang ikhlas menjalankan kepemimpinnya tak kan pernah menegeluh, frustasi atau mengeluarkan sumpah serapah. Seorang pemimpin yang ikhlas tentu  bersih hati; tulus memberi pertolongan bagi lingkungannya yang membutuhkan dan membimbingnya. Karena dengan keikhlasan dan ketulusan hati; kejujuran; kerelaan berkorban, maka diniscayakan akan mengantarkannya kedalam kesejatian seorang pemimpin. Namun masalahnya, apakah ia memimpin hanya untuk kepentingan pribadi dan ambisinya ? atau memang dikarenakan sadar fungsinya sebagai khalifah ?. itu pun pilihan anda. karena, ketikan anda dipilih untuk memimpin, karena anda pun memiliki perbedaandengan yang lain. Walahuallam.

Tidak ada komentar: