Kamis, 10 April 2008

FAKIR DAN KAFIR


Kefakiran dalam arti miskin mendekatkan manusia
pada kekufuran. Lebih luas lagi ditafsirkan
kemiskinan harta benda, kemiskinan pendidikan
dan k
emiskinan hati. Sedangkan kekufuran dapat
ditafsirkan sebagai tidak mempedulikan moralit
mengganggu keseimbangan lingkungan
menimbulkan sanksi bagi pelakunya

Fakir Miskin


Kaum sosialis memiliki tesis baku tentang persoalan dunia, menurutnya : persoalan dunia hanyadikuasai masalah kaya – miskin, tertindas - penindas, buruh – majikan, atau antara kapitalis dan sosialis. Dalam paradigma Marx disebut teori pertentangan kelas. Tetapi Giddens dalam buku : The Third Way menolak paradigma demikian, menurutnya persoalan pertentangan kelas bukan satu-satunya persoalan dunia, karena perkembangan kehidupan memunculkan gerakan-gerakan sosial yang asal usulnya berbeda-beda. Seperti gerakan menuntut demokratisasi, gerakan anti perang (perdamaian - nuklir) pelestarian lingkungan (ekologi) yang sama sekali tidak terkait atau diilhami gerakan kaum sosialias, namun patut pula diakui, masalah kemiskinan atau kefakiran, lebih banyak mendominasi persoalan dunia.

Sejatinya ke”fakir”-an dapat menyeret manusia kedalam ke”kafir”-an. Fakir dan kafir (baca : kufur) hakekatnya tidak sekedar ‘fakir’ (miskin) harta lantas (harus) ‘kafir’ (kufur) ; atau para pelaku Malimo seperti penjudi, pencuri, pembunuh, pemabuk, dan pelaku prostitusi hanya dilakukan orang fakir harta, karena perilaku ini banyak dilakukan orang-orang fakir lainnya, bahkan ada kekufuran lain yang jauh lebih membahayakan dibandingkan yang dilakukan orang fakir harta. Seperti para cerdik cendekia yang melakukan pada tataran konsep dan diikuti banyak orang. Kekufuran demikian di eufimismekan “penyesatan”. Banyak konsep-konsep yang dibuat para akhli pikir dituduh atau memang benar-benar menyesatkan. Mungkin semula bertujuan pencerahan namun menghasilkan penyesatan. Ibarat Eufimisma dari kata-kata “Penerangan namun yang jadi adalah Penggelapan”.

Penyesatan bisa juga ditentukan oleh perbedaan cara pandang atau cara mempersepsi. Misalnya pengkonotasian sosialisme sebagai atheisme ; atau tuduhan terhadap penganut Pentheisme yang menganggap adanya penyatuan Tuhan dengan dirinya dianggap ‘fakir’ dalam memahami agama, atau ‘kafir’ dalam paradigma agama. Penyesatan lainnya bahkan ada yang sengaja di rencanakan, disusun dalam bentuk sejarah, atau dipublikasikan hingga membentuk paradigma publik bahwa peristiwa tersebut adalah benar. Sekalipun orang-orang yang dituduhnya memiliki alasan kuat dan bisa menjelaskan, namun kejumudan dan kebencian yang kadung terpersepsi telah jauh membungkus negasi-negasi yang permisif. Peristiwa demikian juga terjadi pada orang-orang yang satu agama dan keyakinan yang sama, mereka saling mengkafirkan, karena hanya beda cara melakukan dan menjelaskan maka dianggap kafir.

Pada tataran praktek, istilah kefakiran diartikan sebagai “tidak memiliki” atau “tuna”. Seseorang yang tak memiliki harta benda disebut ‘fakir’ harta ; seseorang yang tidak mengindahkan moral disebut pula ‘fakir’ nurani atau ammoral. Demikian pula masalah musababnya, sering disebabkan fakir (ketiadaan) harta ; fakir pengetahuan ; dan fakir hati.

Ada orang yang secara terang-terangan mengakui dirinya fakir, namun siapapun berusaha menghindarkan diri dari kefakiran, bahkan Nabi Muhammad pernah berdo’a, : “Aku berlindung kepada Tuhan dari kemiskinan dan kekufuran”. Do’a tersebut merupakan negasi, bahwa Nabi pun berupaya menghindarkan dari penderitaan, kemiskinan dan kekufuran.

Bagi kita yang hidup dialam pemikiran modern, kufur lawan dari istilah iman, memiliki implikasi luas, sedang penderitaan dan kemiskinan merupakan masalah yang menyangkut moralitas dan budaya. Ada keyakinan yang bersumber dari teks wahyu, intinya menjelaskan :”Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya bentuk”.

Pemahaman bentuk disini tentu bukan sekedar fisik namun mencakup masalah-masalah yang menyebabkan makhluk bisa bertahan hidup. Dalam hal ini, masalah kekufuran, penderitaan dan kemiskinan betul-betul merupakan negasi untuk ditempatkan ketingkat yang paling rendah. Negasi ini bukan juga berarti harus menempatkan para fakir miskin pada tingkat yang perlu dihinakan, namun merupakan bentuk pencerahan agar manusia mampu mengenyahkan sifat kekufuran dari diri sendiri dan lingkungannya.


Fakir Penyebab Prostitusi

Prostitusi memiliki sejarah panjang, entah sejak kapan keberadaannya. Cara dan perilaku prostitusi selalu berinkarnasi – melalui pergeseran nilai-nilai kearah yang jauh lebih luas, sesuai dengan perubahan pemikiran para pelaku – dan memiliki indikator yang berbeda-beda.

Dijaman seperti sekarang, masyarakat lebih permisif ketika berhadapan dengan realitas tuntutan kebebasan dan masalah kebutuhan hidup. Kedua masalah ini menjadi paradigma sosial, sangat permisif terhadap penyimpangan pekerti yang bertujuan untuk kebebasan dan memenuhi kebutuhan hidup.

Menurut psikoanalisa, praktek prostitusi disebabkan makin logisnya berpikir rational tentang kebebasan – liberal. Tuntutan dan penyikapan terhadap kekebasan yang tak berujung, mendesak pemikiran dan perilaku manusia untuk melonggarkan kontrol sosial, memberikan batasan privacy kearah yang jauh lebih luas ketimbang masalah kepentingan publik.

Pembatasan yang semula abstrak mendesak dan terus melakukan fine tunning terhadap masalah hak, cenderung memperluas kebebasan kedalam masalah privat, sedangkan fungsi kontrol sosial publik dihadapkan pada ukuran pelanggaran hak individu atau hak azasi. Wajar jika masyarakat makin cuek dan tidak peduli terhadap urusan umum.

Paradigma kebebasan membawa kedalam kondisi persaingan bebas – “free fight competition”. Dalam kondisi tersebut siapapun tidak boleh melakukan proteksi dan tidak boleh di proteksi. Wajar jika sikecil dikalahkan sibesar ; simodal kecil gulung tikar dilibas si modal besar ; pasar tradisional digusur supermarket ; pengendara motor di larang memakai jalan untuk mobil ; sikecil dan silemah tereliminasi dari hak ekonominya, sebagai akibat ketidak mampuannya bersaing dengan kekuatan yang jauh lebih besar dimiliki kekuasaan ekonomi, karena jika terdapat proteksi maka dianggap melanggar hukum persaingan bebas.

Free fight competition mendorong insting survival manusia. Dalam keterdesakan – demi alasan mempertahankan hidup atau kelangsungan usaha, insting survival melahirkan anak haramnya, yakni sifat-sifat hewani, sama halnya dengan yang diteorikan Thomas Hobes tentang “Homo homini lupus” - manusia cenderung memangsa kehidupan dan penghidupan manusia lain. Untuk bertahan hidup, moral tak lagi menjadi penting, karena realitas mengajarkan, bahwa kemampuan bertahan hidup menjadi rationalitasnya.

Disisi lain manusia memiliki fitrah kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya, siapapun tidak ada yang mampu membatasi pikiran manusia kecuali dirinya sendiri, namun tidak semua manusia merespon desakannya dengan cara mengambil jalan pintas yang tidak mengindahkan moral dan budi baik, bahkan dapat mengeliminasi dari umbar nafsu. Kalaupun ada, terletak pada bagaimana manusia memanfaatkan hak kebebasannya untuk melakukan umbar nafsu. Kemungkinan ada penggunaan kebebasan yang tak lengkap hingga hanya melihat dari satu sisi. Kekurangan tersebut adalah kefakirannya dalam menyikapi persoalan kebebasan yang dimiliki.

Suatu contoh, Penulis pernah menemukan beberapa kasus yang berbeda tentang korelasi prostitusi dengan kefakiran. Seorang istri salehah bisa saja terjerumus melakukan perselingkuhan (adulerty) dengan lelaki lain hanya karena tidak tahan hidup miskin (fakir harta). Disisi lain ada juga perempuan yang kehidupan ekonomi dan sosialnya mapan melimpah ruah, serba kecukupan namun iapun berada dilingkaran prostitusi. Mungkin untuk contoh yang terakhir anda dapat mengenal istilah Tante Girang ; perek ; atau seabreg istilah yang bermaksud sama. Dari kasus diatas ternyata kefakiran harta bukan satu-satunya penyebab seseorang terjun kedunia prostitusi, karena ada fakir-fakir lainnya yang bisa mempengaruhi perilaku manusia.

Masalah Kepribadian

Dari masalah susunan kepribadian, pelaku prostitusi adalah mereka yang taat terhadap naluri purbanya, atau semacam pribadi yang tidak mampu menolak dan mengendalikan dorongan impuls. Kesuburan pertumbuhan naluri tersebut dapat juga dipicu oleh kondisi sebagaimana diuraikan diatas, sehingga Ia tidak menggunakan komponen etik dan moral dalam mempertimbangkan perilakunya, karena impuls ingin terpenuhi dan memenuhi rangsangan secepatnya.

Pelaku prostitusi adakalanya tak memiliki belas kasihan, ia ingin diperhatikan namun tak mau memperhatikan atau menghargai orang lain. Pelaku dalam kasus yang berat biasanya gabungan dari dorongan naluri purba dan ekonomi.

Seorang teman mengisahkan persitiwa yang dialami. Ia pernah beristrikan seorang perempuan yang merasa aman di zona ini, : “Suatu hari ia berdinas diluar kota, kemudian ditelepon istrinya. Menurut pengakuan sang istri ia berada dirumah, dan memang terdengar suara bayi. Namun perasaan menjadi lain, ketika terdengar dering telepon yang sangat asing ditelinganya. Padahal ia tidak memiliki telepon rumah – iapun mendengar bunyi pintu, mirip pintu-pintu hotel ditutup. Karena ada rasa penasaran, kemudian ia cek melalui telepon seluler lain milik si Istri.

Teman saya masih tetap mendengar reaksi dari telepon yang ia gunakan. Betapa kagetnya, ternyata suara bayi tersebut berasal dari rekaman salah satu telepon seluler si perempuan. Ia pun memancing lewat perbincangannya, memang agak lain dari biasa, terdengar sedikit gugup. Setelah diselidiki ternyata si Istri berada disebuah hotel dengan lelaki lain. Bunyi telepon yang asing itu adalah bunyi bel kamar hotel. Sedang suara bayi, memang berasal dari rekaman yang dinyalakannya untuk memanipulasi suasana. Ia pun terus menyelidiki, namun teleponnya dimatikan dan tak mau diangkat lagi. Kemudian dipagi hari, seolah-olah tak terjadi apa-apa, si istri menelepon teman saya. Ia meminta maaf karena tadi malam ketiduran. Seperti biasanya teman saya bertanya tentang peristiwa tadi malam, namun si istri seolah-olah marah, menyalahkan teman saya, dan menuduh menghina. Peristiwa ini sering dilakukan, bahkan tidak hanya satu kali”.

Cerita diatas tak ada sangkut pautnya dengan kefakiran harta, namun sangat terkait dengan kefakiran moral atau martabat. Ia memiliki akal dan harta namun tidak mampu mengendalikan impulsnya. Manusia adalah binatang yang berakal, ia memilki citra, karsa dan rasa. Namun ketika unsur tersebut terjadi disintegrasi maka terjadi penyimpangan moral.

Memang manusia memiliki naluri yang sama dengan binatang, namun ia pun termasuk makhluk yang sadar diri, oleh karenanya ia memiliki kekuatan untuk mengendalikan impuls, tidak hanya melakukan pembiaran terhadap munculnya setiap desakan.

Perilaku pada kasus diatas hanya mengandalkan naluri dan sikap impulsif sebagai cara memuaskan keinginan (wish fulfilment). Dorongan yang timbul menginginkan untuk memenuhi kepuasaan dengan segera, irrational, asosial, mementingkan diri sendiri, suka kesenangan serta dimanjakan oleh kepribadian. Naluri juga tidak diperintah oleh akal atau logika dan tidak memiliki nilai, etika atau akhlak. Ia hanya didorong oleh satu pertimbangan, yaitu mencapai kepuasaan dan keinginan untuk meredakan dorongan naluri.

Penyimpangan yang sama bukan hanya terjadi ketika ia tidak memiliki kemampuan mengendalikan keinginan purbanya. Mungkin suatu hal yang paling nyata ketika dipanggung politik kita menyaksikan perilaku para politikus yang tak lagi memiliki etika politik, atau para pebisnis yang tak memiliki etika bisnis.

Prostitusi dan penyimpangan pekerti pada dasarnya merupakan masalah privat, namun ketika hak tersebut bebenturan dengan hak orang lain atau lingkungan, maka bergeser menjadi masalah sosial, seperti terganggunya keseimbangan lingkungan (ketentraman), atau melanggar teks wahyu.

Prostitusi dapat mempengaruhi mentalitas dan kehidupan orang lain, misalnya tak jarang ada yang terganggu ketentraman hidup berumah tangga. Prostistusi juga dianggap menggoyahkan sendi-sendi hidup keagamaan dan keseimbangan adat, sehingga masyarakat menganggap perlu mengenakan sanksi. Namun jika saja masyarakat setuju untuk mengurangi praktek prostitusi, paling tidak ada nilai-nilai yang perlu terus dibina, yakni saling peduli dengan kehidupan dan lingkungannya, tanpa mengurangi dan membatasi kesejatian nilai-nilai kebebasan manusia !!!!!!!.



Puncak, mei 2006


Artikel terkait : JENIS-JENIS FAKIR

Tidak ada komentar: