PN Palembang, akhir Desember lalu menolak gugat perdata senilai Rp.7,9 Triliun dalam kasus pembaklaran hutan dan lahan konsesi milik PT. Bumi Mekar Hijau, salah satu anak perusahaan APP, penghasil kertas terbesar didunia. Putusan
hakim Parlas Nababan atas gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) dinilai janggal. Dalam putusannya, Parlas menolak seluruh
gugatan perdata yang diajukan Kementerian LHK. Menurut Yang Mulia Hakim Parlas Bakar
hutan itu tidak merusak lingkungan hidup karena bisa ditanam lagi.
Memang kasus ini tidak terkait dengan kebakaran hutan pada 2015 (yang menurut berbagai pihak menjadi yang terparah), namun merujuk pada kebakaran hutan pada 2014. Sayangnya putusan ini menuai amarah pengguna media sosial. Logika putusan yang dibacakan oleh Hakim Parlas Nababan dipertanyakan dengan sejumlah sindiran. Tak kurang yang memplesetkan kalimatnya dengan kata-kata : membakar hakim tidak merusak hukum, karena nanti bisa pilih hakim lain. Kalimat lainnya yang tak kalah seru menyebutkan : Nyopet gak papa karena korbannya bisa cari duit lagi, atau Koruptor tidak perlu dipidana karena negara bisa cari uang lagi.
Putusan Hakim setidak-tidaknya mempunyai kekuatan (1) dapat dipaksakan
dengan bantuan kekuatan umum terhadap pihak yang tidak menaatinya secara
sukarela. Kekuatan ini dinamakan eksekutorial. (2) sebagai dokumen merupakan
suatu akta otentik menurut pengertian Undang-Undang, sehingga ia tidak hanya
mempunyai kekuatan pembuktian mengikat (antara pihak yang berperkara), tetapi
juga kekuatan terhadap pihak ketiga dalam hal membuktikan bahwa telah ada suatu
perkara antara pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu. (3) kekuatan
untuk menangkis suatu gugatan baru mengenai hal yang sama yaitu berdasarkan
asas neb is in idem yang berarti bahwa tidak boleh dijatuhkan putusan lagi
dalam perkara yang sama.
Peranan hakim dalam menentukan suatu petrkara lain adalah
putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan atau
ditetapkan lewat putusan. Dan apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan
kepastian, kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang
diperankan oleh hakim dalam persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan
pengadilan bahkan sampai eksekusinya. Ada beberapa kepentingan dalam mencapai tujuan
lewat penjatuhan putusan bebas di antaranya adalah Untuk Tujuan Penegakan Hukum Dan
Keadilan dan Perlindungan atas hak asasi manusia.
Baru baru ini Indonesia dihebohkan
dengan ancaman contemp of court bagi mereka yang mengkritik hakim, tapi
bagaimana jika hakim itu sendiri dianggap salah memutus suatu perkara, karena
Komisi Yudisial pun hanya bias
bergerak memeriksa jika disinyalir ada pelanggaran
kode etik hakim. Artinya, putusan hakim itusendiri tidak bias disentuh.
Hakim memang dianggap wakil Tuhan dalam menetapkan keadilan,
tapi hakim bukan Tuhan itu sendiri, sekalipun dipanggil dengan sebutan
Yang Mulia. Masalahnya kembali lagi, jika memang dalam putusan Hakim Parlas ini
ada rekayasa atau masuk angin, sudah barang tentu yang bias mengadilinya adalah
moral dari Yang Mulia itu sendiri. Tapi siapakah Yang Mulia itu ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar