Titik Kritis memilih Kebebasan
Manusia memiliki kebebasan untuk merespon
penderitaannya sendiri,bahkan merubahnya
menjadi tidak menyakitkan,
Menurut Eleanor Rosevelet, :
“tak seorangpun dapat menyakiti anda
tanpa persetujuan anda “.
Anda adalah tuan atas diri dan pikiran anda
Nasib manusia tidak dibentuk oleh lingkungan, kecuali jika Ia merasa perlu tunduk pada lingkungan, atau ada pengaruh lingkungan yang sangat kuat. Karena manusia memiliki pilihan, ia bebas memilih, kepada siapa harus tunduk, atau apa yang perlu ia lakukan. Konon ada rujukan yang sering digunakan kaum syiah, menurutnya nasib itu sebenarnya tidak ada, karena jika nasib manusia sudah ditentukan dari asalnya, maka rumusan dosa dan pahala menjadi hilang.
Manusia memiliki pilihan atas kehendak diri sendiri. Manusia memilki kebebasan apapun untuk menjadi apa dan siapapun. Ia memiliki kebebasan untuk memilih hidup mulia atau nista. Bagi seorang yang menyatu dan harmonis dengan realitas diri, maka Ia akan dibimbing oleh suara hatinya, Ia sangat tahu apa yang dikehendaki dirinya. Sebaliknya, bagi yang tidak mengenal dirinya, bukan kebebasan memilih yang dimiliki, namun ibarat berada diatas perahu tanpa kemudi, ditengah laut yang diombang-ambingkan ombak, tak jelas kearah mana akan dibawa, apakah akan terus hanyut atau terdampar di pulau karang.
Didalam bahasan mengenai Hina, dijelaskan, bahwa : Pema dalam kesedihannya dapat membawa dirinya – menggunakan kebebasan memilihnya menuju kemuliaan hidup, karena ia memiliki perspektif positif dalam menilai orang yang menyakitinya. Ia memilih dan menentukan, bahwa perasaan dendam tak kan mampu membawa kedamaian hatinya, tak pula mampu menentramkan jiwa, pada akhirnya Pema berpendapat, bahwa mantan suaminya bukan orang yang mencampakannya namun ia pembuka jalan menuju kehidupan yang baru.
Kebebasan memilih atau merespon terhadap sesuatu bukan hanya terjadi pada diri kita, karena setiap manusia bebas memilih, apakah stimulus yang ia terima perlu direspon dengan sikap negatif atau positif. Seperti contoh, seorang dalam keadaan pusing dan sensitif, tiba-tiba mendengar orang lain tertawa-tawa, entah apa yang ditertawakannya, mungkin juga sedang tidak menertawakannya, namun karena suasana hatinya yang sensitif maka ia meresponnya dengan cara menganggap orang itu sedang mentertawakannya. Namun bisa saja seseseorang yang dihinakan malah memilih hinaan itu sebagai ujian, atau memacu diri untuk meraih kesuksesannya.
Bagi manusia yang mampu memiliki kebebasan memilih respon, syak wasangka bisa ditangkal segera, diarahkan untuk tidak berfikir negatif. Mungkin Ia malah ikut tertawa, menertawakan diri sendiri atau orang yang menertawakannya. Jika Ia telah mampu melakukan kebebasan memilih respon tersebut, iapun mampu mengembangkan kebebasan pribadi, sekalipun dalam keadaan sulit.
Covey mencontohkan tentang kehendak bebas yang dipilih Frankl, seorang tawanan perang Jerman, yang mampu melepaskan rasa sakit dari siksaan yang diterimanya, dengan cara merubah pikirannya untuk tidak menerima rasa sakit itu, sehingga ia pun mampu mengilhami orang lain. Laporan autobiografi para tawanan perang Vietnam memberikan kesaksian persuasif tambahan tentang kekuatan transformasi dari kebebasan pribadi yang dikembangkan Frankl. Sekalipun secara fisik ditawan namun identitas dan kepribadian mereka tetap utuh dan merdeka. Merekapun tidak merasa sedang ditawan, bahkan mereka yakin, bahwa kebebasan merupakan keunggulan manusia ; Karena manusia memiliki kesadaran diri ; kehendak bebas ; hati nurani yang dapat membedakan pilihannya ; serta memiliki imajinasi yang kreatif.
Dalam penentuan titik memilih kebebasan, Covey menandai kebebasan memilih yang dimiliki seorang manusia berada diantara rangsangan dengan respon, atau diantara pasca rangsangan dan sebelum memberikan respon. Rangsangan dikirimkan pancaindra kedalam otak manusia dalam bentuk melihat, mendengar, mencium, merasa, menyentuh, bahkan melakukan.
Lebih konkritnya ia memberikan informasi tentang apa yang dilihat – apa yang didengar – apa yang dirasakan – apa yang disentuh – apa yang dicium – apa yang dilakukan. Namun apakah yang melihat, mendengar, dan merasa itu panca indra, karena senyatanya bahasa otak adalah bahasa gambar, sedangkan panca indra hanya alat sensor yang menentukan ketepatan gambaran otak dengan kenyataan (realitas). Otak kemudian memilah dan menentukan, respon yang akan diberikan terhadap rangsangan tersebut.
Memiliki kebebasan untuk memilih adalah salah satu keunggulan manusia. Kebebasan dapat diaplikasikan pada setiap moment pasca rangsangan. Dalam kenyataannya manusia sering dihadapkan pada peta pengetahuan dan keraguan untuk tidak dapat memilih. Untuk menggunakan keunggulan tersebut manusia perlu mengetahui titik-titik kritis, dimana kebebasan dapat dipilih dan ditentukan.
Titik kritis memilih kebebasan yang paling menentukan berada diantara pasca rangsangan dengan sebelum memberikan respon. Saya dipukul orang maka timbul rangsangan. Pilihan untuk merespon atas pukulan tersebut dikelola oleh otak. Sayapun memiliki kebebasan apakah saya akan membalas atau menerima dengan senang hati. Naluri tidak selamanya dapat memerintahkan otak untuk melakukan tindakan impulsif berupa tindakan negatif, namun otak memiliki kebebasan untuk memberikan responnya, misalnya otak memerintahkan untuk merespon tindakan tersebut sebagai gurauan, atau memaklumi.
Contoh lain, manusia dalam keadaan tertekan, biasanya sulit menemukan jalan keluar atas suatu masalah, karena pikirannya berada didalam lingkaran setan. Namun otak manusia dapat bebas mengalihkan ketertekanan tersebut dan memberikan respon lainnya. Jika saya bisa menganggap tidak ada persoalan, atau mengalihkan respon menjadi sesuatu yang positif, maka itulah yang akan saya rasakan. Mungkin akan jauh lebih baik jika ditanggapi dengan cara mensyukuri, karena tanpa ada persoalan, seseorang tidak dapat pelajaran yang berarti dalam menangani persoalan yang sama dikemudian hari.
Cara otak merespon rangsangan dengan kebiasaan memberikan respon, kadang ibarat telur dengan ayam. Siapa yang lebih dahulu dipengaruhi dan siapa yang mempengaruhi. Respon yang diberikan otak jika dilakukan secara sadar dapat diarahkan kearah berpikir positif atau bersikap proaktif. Respon akan senantiasa pro aktif terhadap perubahan kearah yang positif. Jika saja dilakukan dengan baik maka akan merupakan “puncak kebebasan manusia” untuk memilih respon.
Kehendak bebas dimaksud harus pula disetarakan dengan cara manusia menerima perubahan yang positif. Orang sosialis menyatakan dengan sikap revolusioner, melakukan perubahan kearah yang lebih baik dengan segera, sedang dalam paradigma islam dengan istilah hijrah, yakni merubah kondisi atau perilaku buruk kearah yang lebih baik.
Ada juga yang menanggapi respon sesuai dengan kebiasaan. Misalnya, seseorang berjalan kaki, kemudian kakinya terantuk batu, karena kekagetannya, ada dua kemungkinan respon yang diucapkan secara reflek. Pertama mengumpat dengan bahasa-bahasa kotor atau menyebut nama Tuhan. Kebiasaan mana yang biasa ia digunakan. Jika ia terbiasa merespon dengan bahasa-bahasa negatif ia mengumpat dengan cara negatif, namun jika melakukan kebiasaan sebaliknya ia pun akan mengumpat dengan bahasa yang positif, begitulah peta kekuatan kebiasaan dalam mempengaruhi perilaku manusia.
Kebebasan manusia yang paling pokok sangat dirasakan manfaatnya pada saat memberikan respon, melalui pengendalian respon atas desakan rangsangan. Pengendalian berawal dari cara memiliki kebebasan berpikir, untuk berpikir apa saja. Pikiran-pikiran yang tak mampu dipengaruhi orang lain atau suatu kondisi, adalah pikiran yang bebas – merdeka.
Orang bisa mengusahakan kesakitan atas diri seorang manusia, namun jika manusia tersebut mampu membebaskan pikiran tentang kesakitannya maka menjadi tak tersakiti. Mungkin bisa mengambil hikmah dari cerita Nabi Ibrahim, sekalipun dibakar api namun ia tak bergeming, bahkan dapat keluar dari kobaran api dengan selamat. Pada tahap pemahaman dan praktek kebebasan diatas dianggap telah memiliki “puncak kebebasan yang tertinggi”. Atau bisa s artinya.
Menurut Eleanor Rosevelet, : “tak seorangpun dapat menyakiti anda tanpa persetujuan anda “. Anda adalah tuan atas diri dan pikiran anda. Demikian pula menurut Gandhi : ”mereka tak dapat merengut harga diri kita jika kita tidak memberikannya kepada mereka”. Saya menjadi saya pada hari ini karena pilihan yang saya buat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar